Bagi sebagian orang, menjilat air ludah sendiri adalah kegiatan yang tabu, dianggap menjijikkan sekaligus memalukan. Mengapa demikian? Padahal kalau dipikir, yang dijilat itu adalah air ludah sendiri, bukan mencuri air ludah milik orang lain.
Berikut ulasan Prof. DR. Celeguk, MSc, PhD, BUUD, KUD, IUD, seorang pakar meludah terkenal, sekaligus pengamat politik dari universitas Saliva, negara bagian Slabber yang saya temui di Pusat Studi Menjilat Ludah. Menurut beliau; “Air ludah awalnya berupa air liur didalam mulut. Ketika dikeluarkan maka statusnya berubah menjadi air ludah. Bila sudah diludahkan kemudian dijilat lagi, maka menjadi kegiatan menjijikkan karena air ludah itu sudah kotor. Kalau sudah tahu menjijikkan tapi tetap ngeyel menjilatnya maka kegiatan itu menjadi memalukan”.
Orang meludah dikarenakan beberapa sebab, misalnya ada rasa yang tidak enak di mulut. Atau, bisa juga karena orang tersebut sakit.
Meludah ada aturannya, tidak boleh sembarangan. Ini berkaitan kemungkinan penyebaran bibit penyakit, dan norma sopan satun. Meludah tidak boleh di muka umum, karena orang yang melihatnya akan merasa jijik atau tidak nyaman. Apalagi kalau air ludah itu mengenai orang lain, maka bukan saja tidak sopan, tapi bisa dianggap menghina orang tersebut.
Meludah dan menjilat ludah juga dipakai sebagai perumpamaan dalam ilmu bahasa dan sastra. Perumpamaan itu semacam pernyataan bijak guna menuntun tata kehidupan antar sesama. Kalau saya mamaki, menghina, menghujat, mengeluarkan pernyataan tidak benar terhadap anda maka saya dianggap sudah meludahi anda.
Dalam konteks politik, lebih lanjut Prof.DR.Celeguk mengatakan pada masa kampanye lalu banyak politikus dan simpatisan partai yang mamaki, menghina, menghujat, mengeluarkan pernyataan tidak benar terhadap lawan politiknya. Hal itu dilakukan dihadapan masa yang banyak dan media. Tujuannya menjelek-jelekkan lawan dan menarik simpati masyarakat pemilih. Apa yang dilakukan politikus itu dikategorikan meludahi lawan politiknya.
Dalam masa kampanye saling meludah menjadi seperti hal yang biasa. Mereka melakukannya secara terbuka di tempat umum dan disaksikan banyak orang. Uniknya, orang-orang yang menyaksikan memberi aplaus dan bersorak gembira, bukannya justru merasa jijik atau tidak nyaman.
Menurut Prof. DR. Heuheuheu, PhD. UUD, RT, RW, seorang ahli Etika Meludah mengatakan; “Persoalan sopan santun itu bukan masalah besar. Karena sopan hanya berlaku relatif sesuai aturan di tempat tertentu saja. Kalau para simpatisan tidak protes, maka soal kesopanan itu sudah terjawab”.
Lebih lanjut dikatakannya:”Bagi para politikus, meludahi lawan politik seperti sesuatu kebutuhan penting. Mereka melakukannya dengan riang gembira, tanpa ada rasa bersalah. Mungkin saja karena sebagai politikus, di dalam mulutnya selalu ada sesuatu yang tidak enak. Atau karena menjadi politikus penjilat ludah itu adalah orang sakit secara ex-officio”.
Setelah kegiatan kampanye dan pencoblosan selesai dan hasil-hasil perhitungan suara dapat diprediksi, maka kegiatan meludahi lawan politik menjadi sedikit reda. Suasana permusuhan dan saling meludahi berubah menjadi saling silahturahmi. Inilah hebatnya demokrasi.
Para lawan politik yang tadinya diludahi, kini dikunjungi. Tujuannya adalah untuk menjilat kembali air ludahnya yang menempel di tubuh si lawan politik tersebut. Uniknya, si lawan politik yang pernah diludahi menyambutnya dengan gembira karena diam-diam dia pun ingin menjilat kembali air ludah yang pernah disemprotkan ke tamunya tersebut. Suasana seperti ini dinamakan ‘masa komunikasi menjilat ludah’ (spit communication time).
Kegiatan saling menjilat ludah oleh para politikus ini berlangsung cukup lama hingga pemilu presiden berlangsung. Mereka berebut saling menjilat ludah yang pernah diberikannya kepada yang dahulunya jadi lawan politik. Mereka ini diharapkan menjadi kawan sehati-seludah untuk nantinya bersama-sama meludahi kelompok lawan politik lain saat kampanye pemilihan presiden.
Setiap politikus dan partai politik memiliki metode menjilat air ludah yang sangat khas. Demikian juga nantinya setelah mendapat kawan sehati-seludah. Teknik meludah mereka akan disatukan untuk mendapatkan teknik meludahi lawan secara lebih canggih. Menurut prof. DR. Heuheuheu dan Prof. DR. Celeguk, suasana tersebut dinamakan ‘Koalisi Ludah’ ( saliva coalition).
Alhasil, dalam kampanye pemilihan presiden kemungkinan akan terjadi perang ludah yang sangat menarik. Tidak ada kamus tabu, jijik dan malu karena yang mereka pakai adalah murni air ludah sendiri. Kejujuran menggunakan air ludah sendiri tersebut perlu kita apresiasi. Setelah presiden terpilih, kembali para politikus itu menjilat ludah sendiri untuk mendapatkan posisi di pemerintahan.
Lebih lanjut Prof. DR. Heuheuheu dan Prof. DR. Celeguk berpesan untuk tidak membeberkan siapa saja politikus yang suka menjilat air ludah sendiri. Rakyat sudah tahu semua saat kampanye dahulu siapa para politikus yang suka saling meludah. Jadi tidak perlu diajari lagi.
Kalau sampai saya ikut membeberkan, itu berarti saya juga telah meludah, padahal saya bukan politikus tapi ember bocor (leaky bucket). Dan itu sangat tidak sopan !
Pebriano Bagindo
(Konsultan Menjilat Ludah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H