[caption id="attachment_322893" align="aligncenter" width="370" caption="gambar : http://images.solopos.com/2013/"][/caption]
Hampir setiap hari saya melewati sebuah gang yang berada di sebuah kampung padat sebagai jalur pintas menuju jalan besar. Seperti umumnya kampung urban di kota besar, rumah-rumah di kampung itu berdempetan. Dinding antar rumah tetangga hampir menyatu satu sama lain.Kampung ini relatif tidak kumuh, lingkungannya bersih dan tertata rapi, jalannya terbuat dari beton dengan lebar sekitar 1 meter.
Setiap melewati gang itu saya selalu bertemu dengan seorang laki-laki setengah baya dengan burungnya.Tempatnya selalu di tikungan dekat sebuah surau yang keadaan jalannya kebetulan relatif lebar. Kadangkala laki-laki itu hanya memakai sarung dan berkaos singlet. Namun lebih sering hanya memakai celana pendek dantak berbaju.
Awalnya saya tidak terlalu perduli saat melintas di situ. Tapi kemudian karena sering bertemu dengan laki-laki itu dengan burungnya, saya mulai tertarik mengamati. Ini orang seperti tak kenal waktu. Seringkali saya lewat di waktu yang berbeda ; pagi, siang, dan sore, dia selalu ada di situ dengan burungnya. Dia selalu duduk jongkok sambil membelai-belai burungnya.Pakaiannya pun tidak berganti, masih sama yang dipakainya pagi hari.
Penampilannya selalu rapi, berwajah segar dan rambut tersisir. Awalnya saya kira dia orang gila, namun beberapa kali terlihat dia berbicara dengan warga di situ dengan bahasa tubuh yang sopan. Mereka tampak terlibat pembicaraan yang hangat.
Pernah saya mampir ke sebuah warung dekat tikungan itu untuk membeli rokok, saya tanyakan pada ibu penjaga warung perihal laki-laki itu. Ibu itu mengatakan warga tak begitu tahu pasti apa pekerjaannya. Dia tidak memiliki anak, hanya tinggal dengan istrinya yang setiap saya lewat pada pagi hari hampir pasti sedang menyapu di teras rumahnya yang berada di dekat laki-laki itu bersama burungnya.
Saya bertanya dalam hati, apa pekerjaan laki-laki itu? Sementara saban waktu dia selalu dengan burungnya.Dan saya lihat rumahnya lebih besar dan bagus dibandingkan tetangga terdekatnya. Istrinya pun nampak segar berusia sekitar 40-an. Kata ibu warung itu, pasangan suami istri itu tidak memiliki anak,hidup hanya berdua dan mereka baik-baik saja. Tidak pernah bertengkar. Mereka memang jarang bergaul pergi ke ketetangga. Pada malam hari laki-laki itu selalu ada di rumah dan sesekali ikutan main gaplek atau catur di pos ronda.
Lalu, bagaimana dia menghidupi keluarganya bila tidak pergi bekerja? Sedangkan waktunya habis bersama burung yang hanya satu ekor itu saja. Kalau jumlahnya banyak, bisa jadi dia penjual burung atau tukang adu burung. Namun saya perhatikan, burungnya tidak berubah. Hanya satu itu. Kalaupun dia bekerja di rumah sebagai konsultan freelance, atau pemain saham online, forex, atau seorang blooger, tentunya butuh waktu tertentu yang intensif untuk ‘ngantor’ di depan komputer di rumahnya.
Saya heran dia bisa akur dengan istrinya sementara tampak dari luar tidak bekerja atau hanya di rumah saja bersama burungnya. Bisa saja istrinya menjadi cerewet karena suaminya hanya di rumah saja setiap hari bersama burungnya. Apakah istrinya tidak malu punya suami yang hanya di rumah saja ? Sementara pagi hari para lelaki sibuk keluar rumah untuk mencari nafkah.
Saya memiliki kenalan yang tidak punya pekerjaan tetap. Mereka selalu keluar rumah berbaju rapi pada pagi hari dan pulang pada sore hari hanya untuk tampak seperti pergi bekerja. Padahal mereka hanya nongkrong di pasar untuk main gaplek, catur, atau sesekali mencari obyekan sebagai broker kalau-kalau ada yang mau menjual mobil, tanah atau rumah. Namun dari cerita mereka dalam satu bulan waktu lebih banyak dipakai untuk nongkrong di pasar.
Seringkali untuk beli rokok dan minum kopi saja mereka minta traktir teman yang ditemui. Prinsip mereka, pokoknya pagi harus keluar rumah dengan rapi, agar tidak dicerewetin istri, dan jaga gengsi keluarga. Katanya, istri akan malu dengan tetangga kalau suami hanya di rumah saja saat jam orang-orang pergi bekerja.Lalu bagaimana menafkahi anak istri? Mereka katakan, dalam satu bulan pasti ada rejeki, asal jangan cuma bertelur di rumah. Harus keluar rumah ! Dan jangan lupa, setiap awal bulan harus ada setoran untuk istri di rumah, kalau tidak...akan merasakan tidur dipunggungin istri. Heu..heu....
Begitu kontras prinsip kenalan saya tadi dengan laki-laki yang selalu saya amati di gang sempit itu. Wajahnya selalu segar di pagi hari sambil mengurusi burungnya, sementara istrinya tak pernah cerewet walau suami hanya di rumah saja.
Saya kemudian berpikir, bekerja atau tidak, si Lelaki dengan burungnya itu sungguh beruntung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H