Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Main Ancam dengan Menyebut Profesi Tertentu

10 Mei 2014   14:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13996812451636693990

[caption id="attachment_323225" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber gambar : http://1.bp.blogspot.com/-PqqS1qJFwNI/"][/caption]

“Saya ini wartawan, saya muat nanti kamu di koran saya! Paham?!”

Pagi itu sekitar pukul 05.45 saya antri tiket di stasiun Gambir Jakarta. Suasana stasiun tidak terlalu ramai, mungkin karena masih terlalu pagi atau hari itu bukan jam sibuk pulang kampung. Deret antrian pun tidak panjang dan tampak relatif lenggang.

Ada dua deret antrian untuk dua loket tiket yang buka saat itu. Keduanya adalah loket penjualan tiket untuk keberangkatan hari itu juga.

Saya berada di salah satu deret antrian. Di depan saya ada tiga orang dan dua orang di belakang. Beberapa orang yang mengantri itu berpakaian rapi dan nampak segar dengan tentengan cukup berkelas. Mungkin mereka adalah orang-orang kantoran yang akan bertugas ke luar kota Jakarta.

Saya perhatikan seseorang laki-laki di deret sebelah kiri saya agak sedikit gelisah dibandingkan pengantri lainnya. Sebentar-sebentar dia melihat ke arah jam tangannya. Awalnya saya pikir itu biasalah. Karena setiap orang toh punya gaya sendiri-sendiri saat berada di ruang publik.

Sampai di depan loket secara bersamaan, dia di loket 2 dan saya di loket 3. Saya menyodorkan KTP dan uangke lubang kaca loket sambil menyebut nama kereta dan tujuan keberangkatan. Saya lihat laki-laki tadi juga sedang transaksi dengan pertugas loket, tapi tampaknya wajahnya sedikit tegang. Tiba-tiba dia berkata dengan cukup keras setengah membentak, “Ini sudah pasti ada tempat, ya! Tidak akan terlambat, kan! Awas kalau terlambat! Saya wartawan, akan saya muat di koran saya!”

Semua yang ada di sekitar loket kaget, apalagi saya yang tepat berada di samping si ‘wartawan’ itu. Si petugas loket yang tadinya ramah melayani beberapa saat terkesima. Kemudian dijawabnya dengan sedikit terbata-bata, “Iya, pak..tentu pak....”

Semua mata pengantri tertuju kepada si “wartawan” tadi. Setelah menerima print-an tiket dia berlalu dengan angkuhnya.

Para pengantri yang melihat semua itu hanya geleng-geleng kepala. Setelah si ‘wartawan’ berlalu, beberapa pengantri tiket nyeletuk, “Hari gini masih main ancam?”

“Ah, paling juga oknum wartawan kacangan, mana ada wartawan kayak gitu”

“Tenang aja, Pak...kalo die macem-macem kite bantu nabokin.”

Dalam hati saya terpikir, kalau toh dia benar-benar wartawan mungkin dia lupa kode etik dan peraturan menjalankan tugas di masyarakat. Orang seperti ini dikategorikan oknum. Harusnya tadi dia menyebutkan begini, “Saya ini oknum wartawan! Ini tidak akan terlambat, kan? Awas, nanti akan saya muat di oknum koran saya!”

Setelah menerima tiket, saya pun berlalu dari barisan antrian dan mencari kafe yang tak jauh dari loket tersebut untuk sarapan. Sambil menikmati teh panas, saya memandang antrian tadi. Kejadian tadi masih membekas di benak dan menjadi bagian menu sarapan saya.

Selama ini saya selalu menggunakan kereta api karena merasa nyaman dibandingkan mobil travel atau bis. Dan saya pikir, pelayanan PJKA sekarang sudah relatif baik dibandingkan dahulu. Apalagi suasana di stasiun pagi itu nyaman dan lancar-lancar saja. Sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Soal main ancam kepada orang lain dengan menyebut profesi tertentu bukanlah kejadian pertama yang saya temui selama ini. Ada berbagai tempat dan peristiwa yang pernah saya alami langsung. Tujuannya tentu beragam, ada yang untuk menakut-nakuti, pamer, memuluskan tujuan tertentu, tidak mau susah ngantri, bahkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Sungguh hebat sebuah profesi bila mampu menjadi hantu di masyarakat dan dapat digunakan sebagai alat mengancam atau menakut-nakuti orang lain.

Berdasarkan format kejadian tadi, kemudian saya pun mencoba formula berbagai profesi sebagai alat mengancam;

“Saya ini tentara! Saya tembak kamu nanti di markas saya! Paham?!”

“Saya ini arsitek! Saya desain rumah kamu nanti di studio saya! Paham?”

“saya ini pemain bola! Saya cetak gol kamu nanti di gawang saya! Paman?!

“Saya Ini pemulung! Saya pulung kamu nanti ke TPA saya! Paham?!”

“Saya ini sopir mobil jenazah! Tidak saya antar nanti jenazahmu ke kuburan! Paham?!”

“Saya ini penggali kubur! Saya cuekin nanti jenazahmu di kuburan saya! Paham?!”

Pembaca Kompasiana, bisakah anda memberi vote di tulisan saya?  Saya ini Kompasianer, paham ?!

He..heu..heu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun