Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Permohonan Maaf Kepada Kompasianer

7 Januari 2015   13:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_363422" align="aligncenter" width="424" caption="gambar : http://sidomi.com/wp-content/uploads/2012/04/Maaf.jpg"][/caption]

Tak ada gading yang tak Retak. Itu dulu. Tapi sekarang tidak. Itu alasan klasik-kuno hanya untuk memperluas ruang permisif. Sebenarnya dengan kemauan dan kecanggihan teknologi bisa direncanakan dan didapatkan gading mulus tanpa cacat sedikitpun.

Kalau pakai pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang mungkin bisa dipertimbangkan walau kecil kemungkinan terjadi karena begitu diketahui gajah atau harimau mati maka gading atau kulitnya akan diambil orang untuk dijual. Jadi gajah atau harimau itu tak meninggalkan apa-apa. Gading atau kulit belang telah jadi milik orang lain. Sementara anak cucunya tak mendapatkan peninggalan.

Bila gajah atau harimau itu 'mati' di suatu tempat tanpa diketahui, maka gajah dan harimau itu tidak bisa dikatakan mati karena tidak ada bukti empirisnya. Bisa saja tersesat atau pergi ke tempat yang jauh tanpa terlacak.

Pernyataan Kematian adalah sebuah kondisi empiris. Ada bukti fisik dan bahkan administrasi. Tanpa itu tidak boleh dinyatakan mati.

Ada banyak lagi pepatah lama yang dibuat oleh nenek moyang berdasarkan pengamatan dan situasi terhadap lingkungan dan alam masa lalu. Pengamatan tersebut melalui pemikiran 'sederhana', artinya : belum didukung penyelidikan-ilmu modern seperti sekarang. Kebenaran yang didapatkan masih bersifat relatif kemudian digeneralisir dan dijadikan konvensi (kesepakatan) milik setempat. Pepatah setiap tempat-kelompok masyarakat berbeda dengan tempat lainnya, namun bisa jadi makna yang dikandung relatif sama.

Bila pepatah suatu tempat-komunitas di benturkan dengan ilmu pengetahuan masa kini kemingkinan akan dapat reaksi yang kontra dan beragam, memunculkan pertanyaan lebih lanjut dan lain sebagainya dengan tuntutan bukti empiris yang 'rada njilemet'.

Artikel ini salah satunya, kok tega-teganya bersikap aneh bin 'njlimet' mempertanyakan kesepakatan yang sudah baku dari nenek moyang? Pakai bawa-bawa ilmu pengetahuan segala ! Sangat tidak adil dan arogan ! Ampun pemirsa.

[caption id="attachment_363423" align="aligncenter" width="350" caption="gambar : http://4.bp.blogspot.com/-QvjcWVcuNgw/Ths5SoSUl9I/AAAAAAAABgU/j_h_RBN2Qp4/s1600/minta%2Bmaaf.jpg"]

14205620241913297140
14205620241913297140
[/caption]

Daripada kualat, Saya mohon maaf kepada pembaca. Jangan sampai nenek moyang pembaca menjadi berang.

Satu lagi permohonan maaf Saya sampaikan kepada Kompasianer, dan ini sangat penting dan utama ! Mohon hal ini jadi kesepakatan antara Saya dan Anda. Jangan sampai Admin Kompasiana tahu, ya, ndak enak...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun