Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Mainkan Politik Munafik di Polemik Pemilihan Kapolri

19 Januari 2015   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:49 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_365080" align="aligncenter" width="480" caption="sumber gambar:http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/11/13848272151782852503.jpg "][/caption]

Membaca artikel Nararya di Kompasiana membuat syaraf logika berkedut dan kewarasan saya ereksi. Rasa malu diri seperti ditampar tepat di depan wajah. Kenapa demikian?


Perlu dua cara memahami artikel tersebut karena keterbatasan kapasitas berpikir dalam sekaligus luas. Agar kalau pun pemahaman saya mengalami distorsi, sudutnya tidak lebar. Sehingga selalu ada kesempatan kembali mendekat. Dengan catatan awal, saya tak akan membuat garis lintasan yang panjang karena walau sudut distorsi kecil sementara lintasan panjang akan melempar saya semakin jauh dari sasaran awal. Ini berkaitan juga dengan kapasitas diri.


Dua cara itu adalah Pertama, membaca secara perlahan, agar bisa memahami secara nikmat. Seperti mengunyah, daya cecap syarap lidah bisa rata merasakan. Kedua, membaca berulang agar tahu, kemudian bisa mengerti dan selanjutnya mampu memahami. Dua cara ini pun tidak menjamin saya tidak distorsi.

[caption id="attachment_365083" align="aligncenter" width="640" caption="https://assets.kompasiana.com/statics/files/14000918071136040903.jpg"]

14216392171158105120
14216392171158105120
[/caption]

Tapi saya tidak perduli ! Karena toh...distorsi itu milik saya. Dan cemoohan adalah konsekuensi logisnya. Bukankah apa yang dipikirkan sebaiknya diungkapkan dalam tulisan? Daripada tersendat dan menggumpal! Benak bisa bisulan tak berkesudahan, bukan?

"Kurang Ajar !" Nararya telah membuat saya berpikir. Dan itu, berpotensi menjadi bisul benak. Saya tak mau, dong...


Dalam artikelnya itu, Nararya mengungkap dua hal penting. Pertama, Jokowi melakukan public trascript yang kemudian saya pahami sebagai 'pura-pura taat, tapi sebenarnya memberontak' terhadap 'penguasa'. Kedua, Jokowi berusaha menenangkan para penekannya yakni DPR, PDIP dan para lawan politiknya untuk kemudian memenangkan diri Jokowi sendiri. Karena Jokowi sudah punya kehendak sendiri yang tidak sama dengan para penekannya tadi.


Cara 'pura-pura' manut itu dilakukan Jokowi secara 'santun', seolah menerima tapi karena dia punya kartu otoritas dalam hak preogatif maka kartu itu dia mainkan di akhir cerita. Maka 'kecele' lah para penekan tadi 'tanpa kehilangan muka sama sekali' dan 'tanpa bisa apa-apa'.


Cara bersikap pura-puya 'iya' di depan tapi berlaku dan bertindak sebaliknya adalah ciri khusus manusia munafik. Lain di bibir lain di hati. Pada tataran lebih ekstrim lagi, merupakan ciri penipu. Ada unsur mengakali pihak lain.


Melihat adanya kesamaan cara dan ciri tersebut maka dalam berpolitik Jokowi telah melakukan cara munafik ! Beliau bermuka dua, satu wajah untuk para elit politik yang mengelilingi tahtanya, sedangkan mukanya yang lain untuk rakyatnya. Dan kartu AS itu, diberikannya kepada rakyat !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun