Energi Baru dan Terbarukan (EBT) telah menjadi perbincangan hangat saat ini, bahkan pada acara Presidensi G20 (08/02/2022) yang mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger" itu memiliki 3 isu utama yang menjadi fokus pembahasan, salah satunya tentang Transisi menuju energi yang berkelanjutan. Tapi, taukah kamu perkembangan Transisi Energi pada bidang EBT di Indonesia sudah sejauh mana?.
Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia sangat potensial, sehingga banyak kekayaan alam yang bisa dikembangkan sebagai cadangan energi dimasa yang akan datang, Selain bersih  dan ramah lingkungan, EBT juga bisa dimanfaatkan terus-menerus karena ketersediaanya di alam. Sehingga, banyak Negara luar yang mendorong dan mengkampanyekan agar Potensi EBT di negaranya dikembangkan.
Pengembangan EBT sebagai Pembangkit listrik di Indonesia terbilang relatif rendah , hal ini disebabkan harga produksi untuk pembangkit listrik berbasis EBT relatif tinggi, sehingga sulit bersaing dengan pembangkit fosil terutama batubara. Disamping itu, minimnya dukungan dari berbagai industri tanah air terkait penyediaan komponen pembangkit listrik EBT juga menjadi penghambat pengembangan EBT di Indonesia.
Perkembangan EBT yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik di Indonesia baru 1.8 persen dari 417.8 GW total keseluruhan. Apabila kita mempelajari lebih lanjut, akan banyak pertanyaan yang bermunculan seputaran perkembangan EBT di Indonesia. Salah satunya, apa kendala yang paling besar sehingga pengembangan EBT masih minim di Indonesia?.
Berdasarkan data yang diperoleh, Sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia yang paling besar berasal dari energi surya yakni sekitar 207.8 GW, namun yang sudah terpasang baru sekitar 80.23 MWp atau sekitar 0.03 % dari total potensi energi surya di Indonesia.
Di urutan kedua, potensi EBT yang paling besar di Indonesia berasal dari air yakni sekitar 75 GW dan yang sudah terpasang baru sekitar 5.059 MW atau setara 6.7 % dari total potensi air yang bisa dikembangkan jadi pembangkit di Indonesia. Di posisi ketiga, Angin sebesar 60.6 GW dan yang terpasang sekitar 131 MW atau 0.3 % dari total potensi angin yang bisa dikembangkan jadi pembangkit listrik.
Kemudian disusul Bioenergy dengan total potensi 32.6 GW yang sudah terpasang sekitar 119.4 MW, Geothermal sekitar 23.9 GW dan yang terpasang 2,101.1 MW dan terakhir Ocean yang memiliki potensi sebesar 17.9 GW namun belum ada yang terpasang bahkan sampai saat ini atau 0.0 %.
Data diatas menunjukkan bahwa potensi EBT di Indonesia sangat besar namun pengembangannya masih minim, sehingga kita harus mencari tahu apa sebenarnya faktor yang menjadi latar belakang masalah ini.
Sejauh ini Pemerintah sudah berupaya untuk mengembangkan EBT di Indonesia, Dikutip dari Energy Outlook 2022 yang diadakan CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022). Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berkata, saat ini penggunaan EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 13%. Angka ini jauh di bawah target penggunaan EBT dalam bauran energi hingga 23% pada 2025.
Selain itu beliau juga mengatakan, "Dalam menyikapi ini pemerintah mendorong PLN menetapkan Green RUPTL, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 pada 28 September 2021 yang jauh lebih hijau dari RUPTL sebelumnya, di mana target persentase EBT bauran energi dinaikan menjadi 52% pada 2030."
Disisi lain, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI. Pada saat membuka kegiatan Diskusi Rintangan Bauran EBT dalam Mencapai Bauran Energi Nasional 2025 (8/2/2021) yang digelar secara virtual. Penah Mengatakan bahwa, "Tidak mudah untuk merealisasi target kita di tahun 2025 sebesar 23%, saya dengan DPR dan berbagai keterbatasan terus mengupayakan agar EBT benar-benar menjadi prioritas utama. Ini tercermin pada program legislasi, prioritas Undang-Undang (UU) yang akan kita tuntaskan tahun ini adalah UU EBT".