Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di keluarga kelas menengah, saya selalu diajarkan bahwa pendidikan adalah kunci sukses. "Sekolah yang tinggi, nanti pasti kerja bagus.", begitu kata orang tua saya, dan saya mempercayai sepenuhnya. Namun, setelah menyelesaikan kuliah dan memegang gelar sarjana, saya mendapati kenyataan yang jauh dari apa yang dibayangkan. Dunia kerja tak seindah janji-janji pendidikan.Â
Tawaran pekerjaan yang ada sering kali membutuhkan pengalaman lebih, pelatihan tambahan, atau modal finansial untuk memulai karier yang tak bisa saya penuhi. Rasanya ironis-sudah berjuang begitu keras untuk lulus, tapi kesempatan malah semakin menjauh. Inilah realita pahit yang saya dan banyak dari kita harus hadapi: gelar sarjana saja tak lagi cukup, terutama jika keterbatasan biaya menjadi penghalang di setiap langkah.
Saat saya akhirnya menyelesaikan pendidikan dan menggenggam gelar sarjana, saya merasa ini adalah pencapaian terbesar dalam hidup saya. Saya membayangkan pintu-pintu kesempatan akan terbuka lebar. Namun, kenyataannya berbeda jauh dari yang saya bayangkan. Setiap lowongan pekerjaan yang saya temui seakan selalu memiliki syarat tambahan: pengalaman kerja, sertifikasi, atau keahlian khusus yang memerlukan kursus berbayar. Biaya tambahan ini bukanlah sesuatu yang bisa saya jangkau dengan mudah, mengingat latar belakang keluarga saya yang tidak memiliki sumber daya berlebih. Keluarga saya sudah berkorban banyak untuk pendidikan saya, dan adik saya tapi ternyata itu belum cukup.
Saya pun mulai sadar, untuk mereka yang berasal dari keluarga yang lebih berada, akses ke pelatihan, seminar, dan magang yang bergengsi lebih mudah didapatkan. Mereka memiliki jaringan luas yang bisa membantu mendapatkan pengalaman di dunia kerja. Sementara itu, saya harus berjuang sendiri dengan apa yang saya punya-gelar sarjana dan semangat. Namun, semangat saja tak cukup ketika dunia kerja lebih menghargai mereka yang memiliki koneksi atau keahlian khusus yang tak bisa saya peroleh tanpa biaya besar. Ketidakmampuan ini membuat saya merasa terperangkap dalam lingkaran tak berujung; saya ingin maju, tapi ada tembok besar berupa biaya yang terus menghalangi.
Disisi lain, ada rasa frustrasi yang menguat ketika melihat rekan-rekan saya yang berasal dari keluarga dengan kondisi finansial lebih baik, melesat lebih cepat dalam karier mereka. Mereka bisa mengambil magang tanpa dibayar karena mereka tidak perlu khawatir soal biaya hidup, atau ikut kursus yang meningkatkan keahlian mereka tanpa harus memikirkan dampaknya terhadap kondisi keuangan keluarga. Sementara saya lulusan sarjana ilmu hukum dari kelas menengah, harus menghadapi kenyataan bahwa gelar saja tidak cukup-ada harga yang harus dibayar untuk benar-benar bisa bersaing di dunia kerja.
Dari pengalaman pribadi saya belajar bahwa memiliki gelar sarjana bukan jaminan kesuksesan di dunia kerja, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kelas menengah dengan keterbatasan finansial. Dunia kerja menuntut lebih sekadar pendidikan formal-pengalaman, sertifikasi, dan jaringan juga sangat penting, namun sering kali sulit diakses tanpa biaya besar. Perjuangan saya untuk mendapatkan pekerjaan memperlihatkan ketimpangan yang jelas antara mereka yang memiliki sumber daya lebih dan yang tidak.
Melihat kenyataan ini, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan dan memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi kesenjangan akses tersebut. Jika kalian merasakan hal yang sama, mari kita memperjuangkan akses yang lebih adil ke dunia kerja, dimana kesempatan tidak hanya bergantung pada kemampuan finasial, tapi juga pada potensi dan usaha setiap individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H