SEORANG remaja bule tak sengaja menabrak remaja lainnya. Pria yang ia tabrak itu berwajah oriental. Rupanya ia berasal dari Korea. Si Korea langsung mendaratkan bogem mentah ke tubuh si bule. Si bule tak membalas. Lain hari, si bule berjumpa dengan sekelompok remaja Korea yang sedang asyik bermain dan bersenda gurau di salah satu sudut kota yang ia lewati. Pikirannya langsung tertuju pada lelaki berwajah oriental yang menghajarnya tempo hari. Sebenarnya ia ingin bergabung dengan keseruan mereka, tetapi ada yang mencegah kakinya melangkah untuk mendekat. "Hei, kenapa berdiri di situ? Kamu ingin bergabung dengan kami? Mendekatlah, kita main sama-sama," ajak salah seorang dari kelompok itu. Alih-alih mendekat, si bule menggelengkan kepalanya lalu menjauh. Kenapa ia memilih menjauh? "Karena ia sudah telanjur trauma dengan orang Korea sehingga ia pikir semua orang Korea berperilaku buruk. Padahal tidak demikian adanya. Itu yang disebut prejudice atau prasangka," kata Eric Lincoln, salah seorang pendiri Peace Generation yang menggagas kisah di atas. Ya, cerita itu adalah ringkasan lakon yang diperankan oleh remaja-remaja dari empat negara yang turut serta dalam Walk the Peace, suatu kampanye perdamaian yang diselenggarakan oleh Peace Generation. Drama ini dipentaskan di Rumah Makan Bumbu Desa Jln. Laswi Kota Bandung, Jumat (30/7), sesaat sebelum mereka memulai perjalanan dalam suatu misi perdamaian. Prasangka merupakan salah satu penghambat terwujudnya perdamaian di muka bumi. Prasangka membatasi seseorang mengenali lingkungan lain yang berbeda darinya. ** KEMARIN, dua puluh remaja putra dan putri dari empat negara yaitu Indonesia, Amerika, Kanada, dan Korea memulai perjalanan sejauh 200 kilometer dari Bandung menuju Pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat untuk mengampanyekan perdamaian. Diperkirakan mereka membutuhkan waktu delapan hari untuk berjalan kaki sampai di perhentian terakhir. Ya berjalan kaki! Itulah mengapa perjalanan ini disebut "Walk the Peace". "Selama perjalanan, mereka akan menyampaikan pesan-pesan perdamaian kepada semua orang. Nanti mereka akan berhenti di beberapa SMP dan SMA untuk menyampaikan prinsip-prinsip dasar perdamaian dengan cara-cara yang menyenangkan, misalnya lewat permainan," kata Irfan Amalee, pendiri Peace Generation Indonesia. Selama perjalanan, direncanakan mereka akan singgah di beberapa sekolah seperti di SMP Muhammadiyah 8 Antapani, SMA Karyabudi, SMA Al Ma’soem, SMAN 15 Garut, Pesantren Persis Rancabogo, SMPN 1 Tarogong Kaler, SMPN 2 Garut, SMAN 8 Garut, Pontren Attajid Singaparna, Pontren Ibnu Siena Tasikmalaya, Stikes Muhammadiyah Ciamis, SMKN 2 Ciamis, SMPN 1 Cijeunjing, SMK Muhammadiyah Banjarsari, dan SMA Muhammadiyah Pangandaran. Irfan berharap, berbagai kegiatan bersama di sekolah-sekolah ini dapat menumbuhkan pemahaman mengenai perdamaian. Dunia pendidikan diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip perdamaian di sekolahnya masing-masing. "Tahun 2006 sekolah-sekolah di Aceh justru sudah mendorong penerapan perdamaian di sekolah-sekolah," katanya. Selama menempuh perjalanan, mereka menanam lima ratus pohon sumbangan dari Rumah Makan Bumbu Desa. Penanaman pohon yang dinamai Plant the Peace ini rencananya dilakukan di berbagai tempat yang dilewati. Kegiatan menarik lainnya, antara lain beradu layang-layang yang telah digambar dan ditulisi pesan-pesan damai serta bermain sepak bola. "Kami menyebutnya Kick the Hate, kami tendang semua kebencian sehingga yang tersisa adalah kedamaian," ujar Irfan. Ia mengatakan, Walk the Peace merupakan kegiatan kedua yang digelar Peace Generation. Setelah sebelumnya sukses dengan Rock the Peace, suatu pertunjukan musik yang menghadirkan grup band dari luar negeri. Ikatan Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat sebagai mitra Peace Generation, berharap kegiatan ini mampu melahirkan generasi yang mempunyai spirit baru yang memahami keberagaman dan menyebarkan perdamaian, seperti yang disampaikan ketuanya Faliq Mubarok. Bagi peserta, selain mendapatkan pengalaman yang berharga, kegiatan ini diharapkan bisa merobohkan dinding-dinding rasisme dan berbagai perbedaan yang selama ini menjadi pemicu pertikaian. "Di negara saya, saya masih menemui orang yang tidak mau berteman hanya karena kami berbeda. Kami ingin jadi generasi yang mengubah cara pandang seperti itu," kata William Edward Maxey (18), peserta asal Amerika Serikat. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
(Sumber Pikiran Rakyat, Sabtu 31 Juli 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H