Mohon tunggu...
Dody Solih Setiawan
Dody Solih Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Guru, fotografer, pengusaha.

Guru, fotografer, pengusaha.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Selaksa Rindu Untuk Ibu

27 Januari 2021   05:43 Diperbarui: 27 Januari 2021   05:51 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Hari ini “bertemu” teman lama yang sekarang tinggal di Jepang, walau pertemuan hanya lewat media social, tapi cukup membekas. Karena kami memiliki satu cerita yang sama tentang seseorang yang bernama “Ibu”. Ini kisah kami tentang sosok seorang ibu.

Apa kabar, bu? Aku berharap ibu dalam kondisi terbaik dengan senyuman khas ibu dulu.

Ibu, tahukah ibu, di saat memulai menulis surat ini, air mataku sudah jatuh bercucuran. Entahlah. Setiap mengingatmu, aku tidak bisa menahan tumpahnya air mataku. Remuk sesak rasa di dada ini. Bukan, bu. Bukan aku tidak mengikhlaskan kepergianmu, hanya saja hati ini begitu rindu padamu. Rindu yang terus bertalu-talu.

Aku bayangkan ibu saat ini tengah berisitirahat dengan tenang, ditemani sesosok harum berwajah rupawan di sebelah ibu, sebagai jelmaan bacaan Al Quran yang rutin selalu ibu lakukan saat masih sugeng dulu. Sesosok rupawan, yang dalam janji Allah SWT akan selalu menemani dan menjagamu. Yang tidak akan pernah meninggalkanmu, sebagaimana ibu ketika masih sehat dan belum mengalami dementia dulu, tidak pernah sehari pun meninggalkan tilawahmu. Ibu sangat yakin bahwa di alam kubur, sesosok rupawan jelmaan bacaan Al Quran yang dilantunkan di masa hidup akan terus menemani. Bahkan ketika malaikat Munkar dan Nakir berusaha memisahkan jenazah dan sosok rupawan itu agar memudahkan tanya jawab, ia akan berkata, ”Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga”. Sosok rupawan itu lalu akan menenangkannya dengan berucap, ”Aku adalah Al Quran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir, setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.” Allahu Akbar! Ibu, selalu saja ada getaran haru yang aku rasakan setiap kali ibu mengatakan alasan kenapa ibu tidak pernah alpa dan selalu bersemangat membaca Al Quran. Padahal hadist itu sudah berulang kali ibu sampaikan kepadaku sejak aku masih kecil dulu.

Aku masih ingat dengan jelas, semenjak pensiun sebagai guru yang mengajar Raudhatul Athfal (RA) di kampung sebelah dulu, ibu banyak mengisi hari-hari sepi dengan membaca Al Quran. Apalagi semenjak Bapak sedo, dan ibu tinggal sendiri di kampung, ibu semakin banyak bershalawat dan membaca Al Quran. Seolah-olah Mushaf yang hurufnya besar-besar pilihan ibu itu, benar-benar teman karib ibu. Kami putra putri ibu, khawatir dengan kesendirian ibu, karena tidak ada satu pun dari kami berempat yang tinggal dekat dengan ibu. Kami ingin ibu hidup bersama kami. Tapi ibu selalu menolak. Hingga akhirnya, ibu tidak punya pilihan selain tinggal bersama kami. Diabetes yang diiringi dengan dementia yang menjadi, membuat ibu perlu treatment dan pengawasan yang benar, agar asupan makanan maupun kedisiplinan konsumsi vitamin dan obat lebih terjaga. Itu semua menjadi alasan yang kuat sehingga ibu meninggalkan kampung halaman dan akhirnya hidup bersama kami putra putri ibu, secara bergantian. Hal yang menenangkan kami, namun berat bagi ibu.

Masih teringat jelas ketika ibu tinggal bersamaku, ibu selalu rajin ke masjid di kompleks perumahan tempat tinggalku, sama seperti kebiasaan ibu di kampung dulu. Meskipun ibu tidak mengenal orang-orang yang menjadi jamaah di masjid itu,tapi ibu selalu hadir untuk berjamaah sholat lima waktu. Hingga orang-orang di perumahan dan para tetangga mulai mengenal ibu. Pun ketika hari hujan, listrik mati, pagi buta sebelum adzan subuh berkumanadang, tidak pernah menyurutkan langkah ibu untuk ke masjid. ‘Ibu sudah tua, ibu tidak suka nonton TV selain pengajian saja, kalau ibu tidak boleh ke masjid lalu kegiatan ibu apa?" Begitu selalu alasan yang ibu ungkapkan setiap kali aku melarang karena kekhawatiranku.

Ketika matahari mulai menampakkan diri, sebelum waktu sholat dhuha, ibu akan selalu duduk di teras rumah samping, kadang pindah ke teras depan, untuk membaca Al Quran, yang tentu saja lantunannya terdengar hingga ke tetangga. Hal itu menjadi ciri khas, tetangga menandai kalau ibu sedang ada di rumah. Jika suara tilawah ibu tidak terdengar, maka tetangga akan tahu kalau ibu sedang berada di rumah salah satu kakakku. Kalau aku mengajak ibu agar mengajinya di dalam rumah saja, ibu selalu memilih di teras, karena lebih terang, dan udaranya sejuk, sekalian menghirup udara pagi. Begitu selalu alasan ibu. Oh ibu…., betapa aku rindu dengan semua itu...

Terlalu banyak kenangan yang tak terlupakan bersamamu, bu. Aku masih ingat, ketika masih kecil dulu, aku mendapati ibu berpuasa, padahal hari itu bukan bulan Ramadhan, bukan pula hari Senin ataupun Kamis. Saat aku bertanya, ibu hanya menjawab: "Hari ini ulang tahun kakakmu." Aku pun baru tahu, ternyata begitu cara ibu merayakan ulang tahun kami. Berpuasa di hari ulang tahun kami satu persatu. Alasan ibu tentu saja agar bisa lebih dekat dengan Allah. Karena doa orang yang sedang berpuasa adalah mustajab. Masha Allah……ibu!!! Sungguh hati ini bergetar haru. Sebagai ibu saja, doa ibu sudah sangat kuat untuk menjadi alasan ijabah, namun ibu masih menambah alasan mustajabnya doa dengan berpuasa. Sungguh, mengingat itu semua aku menjadi semakin malu. Betapa jauhnya perbandingan aku dan ibu.

Di lain waktu, aku mendapatimu berpuasa di hari di mana tidak ada salah satupun dari kami yang sedang berulang tahun. Ternyata, saat itu, salah satu putramu sedang menjalani tes masuk perguruan tinggi negeri. Masha Allah, doa terbaik dari seorang ibu yang tengah berpuasa untuk anaknya. Sekali lagi hatiku tersentuh haru, bu. Ibu benar-benar tidak hanya membesarkan kami, tapi juga mendidik, memberi contoh dan mengawal kami dengan doa-doa yang istimewa. Oh ibu, betapa beruntungnya kami menjadi menjadi putra-putrimu.

Pernah di suatu Hari Minggu, ketika aku baru saja selesai membersihkan ibu, di saat ibu sudah semakin sepuh dan tidak bisa mandiri lagi, ibu berkata, "Maaf ya, ibu merepotkanmu, kamu jadi capek membersihkan kotoran ibu, memandikan ibu, padahal kamu harus kerja dan juga melayani suami dan anak-anakmu’. Saat itu, aku menangis tergugu, "Ibu, jangan ngendiko begitu. Sungguh, apa yang aku lakukan buat ibu tidak sedikitpun bisa membalas satu kali hentakan pun ketika ibu berjuang melahirkanku. Belum lagi atas semua apa yang telah ibu lakukan hingga aku sendiri juga telah menjadi seorang ibu".

Ibu, saat ini, hanya doa yang terus diikuti dengan cucuran air mata yang bisa aku rangkaikan untukmu. Aku belum berbuat banyak untuk sekadar bisa membalas kebaikan dan ketulusanmu. Masih banyak kekuranganku dalam merawat ibu. Semoga Allah senantiasa mengampuni segala dosamu, melapangkan dan menerangi alam kuburmu dengan cahaya-Nya yang tidak akan pernah pudar, seperti cintamu. Semoga Allah senantiasa merahmatimu, membebaskanmu dari segala fitnah siksa kubur dan siksa api neraka selama-lamanya. Dan aku juga memohon kepada Allah sepenuh hati dan jiwaku, agar Dia meninggikan derajatmu, dan menganugerahimu dengan syurga-Nya yang abadi. Beristirahatlah dengan tenang ibu, semoga aku bisa menjadi putrimu yang bisa mendidik cucu-cucumu dengan baik. Menjadi putrimu, yang tidak pernah alpa dan lupa untuk selalu mendoakanmu, sebagaimana ibu dulu tidak pernah menyerah untuk selalu mengusahakan dan mendoakan yang terbaik untukku.

Semoga Allah berkenan mengumpulkan kita semua bersama Bapak, semua putra putri dan seluruh keturunanmu di syurga-Nya kelak….Aamiiin ….

Salam takzim sepenuh rindu dari putrimu, Titik I HS, Kobe, 22 Desember 2020

untuk alm. Ibuku tersayang

Tetesan air mata masih terus bercucuran, jika membaca surat itu. Setiap kata-kata yang tertulis disana seolah memutarkan kembali ke waktu itu, waktu ibu masih ada. Begitulah cerita sahabat sekaligus teman yang memiliki kisah mirip sekali dengan apa yang saya alami. Ibu selaksa rindu ini, selalu menggelayut di setiap malam, di setiap doa-doaku.  Ibu …. Ibu …. Ibu ….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun