Sejenak saya duduk dan menepi dari segala tetek bengek kesibukan. Benar-benar penat hari ini. Masalah di kantor, masalah di rumah, masalah hutang, masalah macam-macam pokoknya. Namun saya selalu yakin bahwa Sang Ilahi tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan ciptaan-Nya. Keyakinan itulah yang membuat saya hingga kini masih bisa berjalan dan hidup seperti biasanya. Memang setiap manusia memiliki persoalan hidup dengan takaran yang berbeda-beda. Dan tidak bisa kita membandingkan kisah hidup kita dengan kisah hidup orang lain. Mungkin sebagian oarang akan berpikir bahwa masalah hidup saya tidak seberat mereka, tetapi lagi-lagi kita harus sadar bahwa Tuhan memberikan dan menulis kisah hidup setiap orang dengan berbeda-beda. Begitu juga saya yang terkadang secara manusiawi merasa iri dengan kehidupan orang lain yang semacam tidak memiliki kekurangan. Sepertinya ada benarnya beberapa konten tentang lamunan seorang lelaki dewasa yang berseliweran di medsos, bahwa mereka lebih banyak merenungi segala masalahnya sendiri. Terlebih untuk yang telah menikah, dia terkadang tak ingin pasangannya merasakan kesedihan dan selalu ingin pasangannya bahagia tanpa harus ikut merasakan kegetirannya. Dan akan berusaha sendiri mengatasi masalahnya. Tetapi ada saat-saat di mana lelaki seperti saya tidak bisa sendiri menahannya dan perlu ada teman untuk berbagi. Kepada siapa? Tentunya kepada orang terdekat saya sekarang, yakni Istri saya.Â
Usia pernikahan kami baru setahun lebih. Belum terlalu banyak dan lama pengalaman pernikahan kami. Tentu akan ada lebih banyak hal yang terjadi baik suka dan duka, yang semoga akan kami nikmati sepanjang usia kami hingga kami tiada nanti. Lamunan saya kembali kepada kisah awal perjumpaan kami.Â
Kisah kami berawal di atas sebuah angkutan umum, yang di daerah kami dikenal dengan sebutan bemo. Sederhana saja perkenalan kami. Hanya dengan menanyakan nama lalu meminta nomor handphone, yang ditulis di telapak tangan, serta berjanji akan menghubunginya. Ratna. Itu yang dia perkenalkan kepada saya. Kami waktu itu sama-sama menuju ibukota kabupaten Belu, Atambua, NTT. Saya dan beberapa teman harus lebih dulu turun di depan asrama kami. Hanya salam perpisahan singkat dan terima kasih yang sempat terucap.
Saya bersekolah di tempat yang notabene semuanya harus tinggal di asrama. Asrama tersebut memiliki segala tetek bengek aturan yang kadang jika dipikir secara akal sehat terlalu mengada-ada. Namun ada sisi baiknya juga yang bisa dirasakan hingga sekarang. Salah satu aturan yang berlaku di sana adalah dilarang membawa dan menggunakan handphone. Pada tahun 2000an, ponsel mulai nge-tren di daerah kami. Namun, kami harus menghadapi pertentangan hebat antara aturan asrama dan alat teknologi yang baru saja mulai nge-tren itu. Layaknya peribahasa "Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak", saya mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap mengikuti aturan.
Singkat cerita, saya bertemu Ratna saat saya duduk di bangku SMA kelas X. Â Sebagai anak asrama yang telah memiliki adik kelas, tentu telah ada banyak cara untuk bisa mengelabui aturan yang ada. Salah satunya adalah membawa handphone. Melihat cara kerja para senior menggunakan handphone secara diam-diam, sudah barang pasti, ada niat dan rasa ingin mencoba. Untuk itulah mengapa saya berani meminta nomor kontaknya Ratna saat di atas Bemo tadi.
Alasan saya meminta nomornya waktu itu, mungkin belum bisa dikatakan bahwa saya jatuh cinta. Alangkah bagusnya saya menyebutnya sebagai rasa suka. Ya. Saya menyukai Ratna. Tentu hanya sebatas suka, tetapi waktu itu. Apalagi untuk anak remaja yang beranjak 17 tahun waktu itu. Padahal selama dalam perjalanan dari kampung kami menuju ibukota yang memakan waktu 2 jam itu, kami berdua hanya sesekali saling melemparkan tatapan dan senyuman. Di dalam Bemo itu juga hanya ada dua anak gadis yang menumpang, salah satunya dalah Ratna. Ketika hampir tiba di asrama kami, beberapa teman saya juga turut meminta nomor kontaknya. Tak ketinggalan Sopir angkutan yang juga ingin menyimpan nomor kontak Ratna di handphonenya. Meskipun begitu, belum ada rasa cemburu ataupun sejenisnya saat itu. Toh hanya perkara nomor handphone. Setelah tiba di asrama, saya cepat-cepat menyalin nomor kontaknya di catatan harian saya.
Seminggu setelahnya, saya beranikan diri untuk menghubungi Ratna. Ternyata nomornya aktif. Awalnya sempat berpikir bahwa dia mungkin berbohong dengan memberikan sembarangan nomor. Tak banyak yang saya tanyakan. Hanya basa-basi anak belasan tahun yang sedang beranjak ke masa pubertas. Tidak terasa kami akhirnya jadi sering saling kontak. Tentunya Ratna menyesuaikan waktu dengan saya yang tinggal di asrama super ketat itu. Rasa suka saya semakin bertambah. Ratna merupakan sosok yang enak diajak ngobrol. Pernah di satu kesempatan, saya mengutarakan perasaan saya kepada Ratna, bahwa saya suka dan mengajak dia untuk berpacaran. Mungkin ada benarnya bahwa keseringan bertemu meskipun secara online mampu menumbuhkan perasaan dalam hati. Namun saya harus menahan sedikit rasa sakit karena saya belum bisa mendapatkan balasan yang setimpal dari perasaan saya itu.
Semenjak itu, hubungan kami masih tetap berjalan, namun tidak seintens seperti sebelum perasaan saya ditolak secara halus dan masuk akal oleh Ratna. Kami pun jarang atau bahkan tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya kami sekali bertemu di kampung halaman kami. Setelah itu kami berpisah hingga sempat hilang kontak. Sesekali kami hanya saling menyapa untuk sekadar memberi ucapan selamat panjang umur, selamat pesta Natal atau Paskah atau Tahun Baru. Namun sempat juga saling curhat tentang kehidupan kami masing-masing. Meskipun saya yang lebih banyak bercerita. Jadi boleh dibilang hampir separuh kisah hidup, khususnya kisah cinta saya sudah pernah didengar oleh Ratna.
Namun siapa sangka, Ratna akhirnya menerima saya untuk menjadi pendamping hidupnya. Wanita yang telah mengetahui seluk beluk cinta saya ini bersedia menjadi istri saya. Akhirnya di atas Altar yang suci, kami berjanji untuk sehidup semati, pada waktu susah ataupun senang, hingga maut yang memisahkan kami. Saya meyakini bahwasanya semua ini merupakan cara kerja Tuhan atas diri kami. Dan kami bersyukur untuk semuanya itu. Akhrinya sepanjang perjalanan kami tempo hari itu akan menjadi perjalanan bersama hingga hayat menjemput kami.
Saya tersadar dari lamunan ketika istri saya memanggil saya untuk menyiapkan jualan kami. Kami kini tengah merintis usaha kuliner. Saya bersyukur karena memiliki istri dengan keterampilan memasak sepertinya. Untuk itu kami berdua sepakat untuk sama-sama merintis usaha kami.Â
Malaka, 2023