(Sebuah refleksi tentang buku harian)
Aku mencoba membongkar-bangkir buku harian yang bertahunkan 2011. Sambil membolak-balik halaman, aku tersenyum sendiri. Merasa lucu dengan beberapa kejadian yang sempat kutulis. Tapi ada juga rasa kesal ketika melihat beberapa tanggal yang kosong dan hanya berisi tulisan dengan huruf kapital CAPEK!, MALAS!, MASIH MALAS!!, SUNTUK!. Aku sedikit menyumpahi diriku sendiri, karena tulisan dengan huruf kapital itu hanya akal-akalan saja supaya saat diperiksa, aku dapat lolos dari hukuman. Sungguh menyesal karena buku harian ini kubuat dengan terpaksa lantaran selalu diperiksa oleh bapak asrama. Betapa bodohnya diriku. Aku merasa seperti kehilangan moment.
Aku akhirnya sampai pada halaman yang bertanggalkan 30 November 2011, di dalam buku harian itu hanya ada tulisan sebagai berikut:
Rabu, 30 Nov 2011
SUNTUK!
Rasa kesal kembali tersenyum. Ia merasa menang. Aku kalah lagi karena dia menguasaiku. Entah apa yang terjadi pada hari itu. Aku sudah kehilangan satu kisah lagi. Aku coba untuk mengingat-ingat tapi yang masih terlintas hanya kegiatan harian seperti ibadat, perayaan Ekaristi, makan, kuliah, kerja. Apa yang spesial pada hari itu? Apakah Suntuk? Bukannya suntuk itu hanya akal-akalan saja? Suntuk yang menyelamatkanku dari pemeriksaan buku harian? Atau suntuk yang bikin rasa kesal itu menang? Terlalu susah untuk bisa mengingat apa yang terjadi waktu itu.
Aku tersadar, kata suntuk itu lebih cocok jika digunakan dengan kata menunggu. Bukannya seringkali ada ungkapan, "pekerjaan yang paling suntuk, menunggu"; "barangkali kau suntuk karena menunggu"?. Lalu aku mengandaikan, mungkinkah waktu itu aku sedang menunggu atau ditunggu dan apa yang sedang kutunggu dan menunggu itu.
Cukup lama aku terseret ke dalam perjuangan mencari hal yang spesial dari tanggal 30 November 2011 itu. Bukan untuk apa-apa, hanya sekedar mencari inspirasi. Ternyata tidak sia-sia pergumulanku itu. Aku telah mendapatkannya. Sebuah tulisan kecil yang terselip di antara lembaran kertas.
PENANTIAN
Suntuk.
Suntuk?