Ketika pada tahun 1991 PT Tambang TImah (Persero)Â melakukan restrukturisasi pemutusan hubungan kerja, efisiensi besar-besaran termasuk pelepasan asset (rumah dinas), bahkan melakukan eksport timah berkadar rendah ke jepang, pada saat itu pula terjadi kegalauan kehidupan ekonomi masyarakat di pulau Bangka Belitung penghasil timah bagi industri teknologi dunia.
Salah satunya adalah para karyawan yang saat itu, dihadapkan pada banyak jenis tawaran pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi yang menarik. Ada bermacam istilah yang terdengar saat itu misalnya Pensiunan Dini, Pensiun Atas Permintaan Sendiri, Pensiunan Alami bahkan ada yang bercerita ia tergiur dengan tawaran Sekolah ke Luar Negeri tetapi ketika pulang ia tidak punya kursi jabatan lagi. Apapun itu prinsipnya para pekerja saat itu harus menentukan pilihan demi kelangsungan hidup keluarganya.
Dan bersama kami saat ini adalah cerita dari para mantan karyawan PT TImah yang masih mendiami rumah dinas BUMN tersebut dikomplek bukit baru-pangkalpinang dan kemudian terkini telah dilakukan tindakan pemutusan akses air dan listrik ke rumah tersebut oleh Direksi PT TImah. Demi menjaga statusnya sebagai penghuni terakhir dari rumah dinas itu, para MKT PT Timah dikonfrontir dengan pandangan direksi PT Timah TBK sebagai tindakan ilegal menguasai aset negara.
" Mereka mendiami rumah itu, bukan hanya soal hak hidup akan tetapi karena ada pedoman Menkeu ditahun 1991 yang menyebut istilah penghuni terakhir dapat membeli rumah itu. Mereka sedang mempertahankan status quo nya  sebagai penghuni terakhir rumah itu, sikap diskriminasi dalam pelepasan aset yang dilakukan PT Timah selama ini, membuat mereka tidak akan pernah mau meninggalkan rumah itu" John Ganesha, PDKP BABEL menarik kesimpulan dari wawancaranya dengan para pensiunan kemarin di kediaman Bpk. Husain Karim
Kepada Ibu Menteri BUMN, bagaimanapun kebijakan negara atau sikap kepemimpinan yang tegas dalam membela aset negara yang kami yakin menjadi dasar berpikir Dirut Sukrisno. Maka tetap saja, masyarakat di pulau inilah yang pertama kali mengalami dampak negatif dari kebijakan tersebut. Ketika kebijakan liberalisasi perdagangan timah terbuka dan berhasil meningkatkan "sejenak" perekonomian masyarakat, tetapi lihatlah sekarang rekayasa sosial diperlukan untuk memastikan masyarakat bangka belitung bisa kembali hidup bercocok tanam atau melaut. Ketika UU Minerba begitu memukau nasionalisme kecintaan pada kekayaan tanah air, pada saat itu pula negara tidak memiliki mempersiapkan kebijakan pasca timah di pulau ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H