Mohon tunggu...
PUSAT DUKUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK BANGKA BELITUNG
PUSAT DUKUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK BANGKA BELITUNG Mohon Tunggu... -

Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (PDKP BABEL) awalnya merupakan unit kerja dari Kantor Bantuan Hukum (KBH) Bangka Belitung yang berdiri pada tanggal 22 September 2002 atau bernama Yayasan Pendidikan Bantuan Hukum Indonesia (YPBHI) yang berkedudukan di Jakarta serta kantor perwakilan di 7 Provinsi di Wilayah Sumatera (Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jambi, Padang, Riau dan Bangka Belitung). Lembaga yang pernah bekerjasama dengan UNI EROPA dan Yayasan Friedrich Naumann Stiftung (FNSt) German ini mendeklarasikan diri pada tanggal 1 Oktober 2004 secara konsisten dan independen berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga yang bersifat nirlaba, independen dan non partisan partai politik yang bertujuan turut berperan serta dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pemerintah, perlindungan konsumen, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan perbaikan peningkatan pelayanan publik serta bertujuan mewujudkan masyarakat yang demokratis. Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (PDKP BABEL) baru mendaftarkan diri secara sah sebagai lembaga tingkat lokal pada tanggal 11 Oktober 2010 berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar yang dikeluarkan oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan pada tanggal 17 Desember 2010 Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (PDKP BABEL) terdaftar sebagai lembaga tingkat nasional berdasarkan Surat Keterangan Terdaftar yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 074/D.III.1/XII/2010.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlawanan Sang Penghuni Terakhir (Pesan Moral untuk Ibu Menteri BUMN)

13 Januari 2015   09:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:15 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika pada tahun 1991 PT Tambang TImah (Persero) melakukan restrukturisasi pemutusan hubungan kerja, efisiensi besar-besaran termasuk pelepasan asset (rumah dinas), bahkan melakukan eksport timah berkadar rendah ke jepang, pada saat itu pula terjadi kegalauan kehidupan ekonomi masyarakat di pulau Bangka Belitung penghasil timah bagi industri teknologi dunia.


Salah satunya adalah para karyawan yang saat itu, dihadapkan pada banyak jenis tawaran pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi yang menarik. Ada bermacam istilah yang terdengar saat itu misalnya Pensiunan Dini, Pensiun Atas Permintaan Sendiri, Pensiunan Alami bahkan ada yang bercerita ia tergiur dengan tawaran Sekolah ke Luar Negeri tetapi ketika pulang ia tidak punya kursi jabatan lagi. Apapun itu prinsipnya para pekerja saat itu harus menentukan pilihan demi kelangsungan hidup keluarganya.

Dan bersama kami saat ini adalah cerita dari para mantan karyawan PT TImah yang masih mendiami rumah dinas BUMN tersebut dikomplek bukit baru-pangkalpinang dan kemudian terkini telah dilakukan tindakan pemutusan akses air dan listrik ke rumah tersebut oleh Direksi PT TImah. Demi menjaga statusnya sebagai penghuni terakhir dari rumah dinas itu, para MKT PT Timah dikonfrontir dengan pandangan direksi PT Timah TBK sebagai tindakan ilegal menguasai aset negara.


" Mereka mendiami rumah itu, bukan hanya soal hak hidup akan tetapi karena ada pedoman Menkeu ditahun 1991 yang menyebut istilah penghuni terakhir dapat membeli rumah itu. Mereka sedang mempertahankan status quo nya  sebagai penghuni terakhir rumah itu, sikap diskriminasi dalam pelepasan aset yang dilakukan PT Timah selama ini, membuat mereka tidak akan pernah mau meninggalkan rumah itu" John Ganesha, PDKP BABEL menarik kesimpulan dari wawancaranya dengan para pensiunan kemarin di kediaman Bpk. Husain Karim

Kepada Ibu Menteri BUMN, bagaimanapun kebijakan negara atau sikap kepemimpinan yang tegas dalam membela aset negara yang kami yakin menjadi dasar berpikir Dirut Sukrisno. Maka tetap saja, masyarakat di pulau inilah yang pertama kali mengalami dampak negatif dari kebijakan tersebut. Ketika kebijakan liberalisasi perdagangan timah terbuka dan berhasil meningkatkan "sejenak" perekonomian masyarakat, tetapi lihatlah sekarang rekayasa sosial diperlukan untuk memastikan masyarakat bangka belitung bisa kembali hidup bercocok tanam atau melaut. Ketika UU Minerba begitu memukau nasionalisme kecintaan pada kekayaan tanah air, pada saat itu pula negara tidak memiliki mempersiapkan kebijakan pasca timah di pulau ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun