Dijajaran media massa kita ada Kantor Berita ANTARA. Dulunya Lembaga Kantor Berita Nasional(LKBN) ANTARA. Sekarang menjadi Perum Kantor Berita (KB) ANTARA. Indonesia pernah memiliki tiga KB yakni ANTARA milik pemerintah dan dua lainnya swasta yang telah lama tutup yakni Kantor Berita Nasional Indonesia(KNI) dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB). Sebagai institusi media, ANTARA fungsinya sebagai penyalur berita (news) ke publik melalui media lainnya. Bahasa dagangnya, ANTARA adalah pedagang besar berita (grosir) sedang media lainnya sebagai pengguna adalah pengencernya (retailer). Pertanyaannya sekarang, di era keterbukaan informasi seperti sekaranng apakah KB ini masih pantas disebut grosir berita ke publik melalui media lainnya ? Apakah masih ada perusahaan pers yang menggunakan beritanya?
[caption id="attachment_79770" align="aligncenter" width="538" caption="Logo ANTARA/Admin (antaranews.com)"][/caption] Jawabannya bisa beragam. Tapi kalau pertanyaan itu diajukan ke awak redaksi surat kabar, majalah, televisi, radio dan media on-line lainnya. Jawabannya, berita ANTARA hampir tidak pernah lagi dipakai. Kalaupun masih ada yang berlangganan mungkin hanya sebagai input untuk penyusunan peta berita mereka kedepan (trend setter). Bukan lagi kutipan murni dengan menyebut inisial ANTARA, kecuali berita foto. Perusahaan pers yang dulunya berlangganan ANTARA sekarang tidak lagi meneruskannya karena berprinsip informasi setiap saat dapat diakses dari aneka sumber selama 24 jam. KB ini didirikan oleh Adam Malik dkk, tanggal 13 Desember kemarin genap berusia 73 tahun. Kalau itu seumpama sosok bernyawa maka usia yang demikian menunjukkan kematangan hidup. Tapi sebagai institusi media massa, ANTARA diusia itu ternyata semakin keropos dan sakit-sakitan. MENGAPA DEMIKIAN? KB ini dalam kiprahnya hingga tahun 1970-an mengandalkan redaksi sebagai primadonna. Artinya, bahan berita sebagai sumber revenue (pemasukan). Tapi pada tahun 1980-an ditengah derasnya persaingan bisnis media, ANTARA kemudian menjadi "agen berita" KB asing seperti Reuters, Associated Press dll. Payung hukumnya SK Menteri Penerangan Ali Moertopo yang mewajibkan KB asing menggandeng ANTARA dalam memasarkan produknya di Indonesia. Periode keagenan ini hingga 1990-an membuat ANTARA menjadi "keenakan" menikmati fee yang diraup tiap bulan dalam bentuk US Dollar. Management ANTARA di waktu itu belum "aware" menyiapakan ANTARA menghadapi kemungkinan terburuk kedepan. Management juga kurang membangun etos kerja di perusahaan ini yang berorientasi bisnis. Akibatnya, begitu badai reformasi melanda negeri ini tahun 1998 dan semua produk hukum yang dihasilkan rejim orde baru dihapus dan ditinjau kembali termasuk SK Menpen tersebut, ANTARA menjadi letoy dan sempoyongan. Semua KB asing yang tadinya bekerjasama lantas meninjau kembali kerjasama itu. Omzet penerimaan yang tadinya sekitar Rp. 30 milyar dan 1,9 juta US Dollar per bulan melorot hingga tinggal sekitar Rp.10 milyar dan 17 ribu US Dollar perbulan. Sementara belanja perusahaan dua kali lebih besar dari penerimaan. Akibatnya perusahaan mengalami "lesu darah". ANTARA yang dulunya menjadi pelopor portal berita sekarang ketinggalan dibanding portal berita Kompas.com atau Detik.com. Portal ANTARA sekarang tampilannya norak beritanya juga jarang di up-date. ANTARA yang pertama kali membangun pelayanan berita televisi kini ketinggalan dibanding pendatang baru seperti Elshinta TV dan TV swasta lainnya. Dua jaringan perusahaan Pers raksasa seperti Kompas Gramedia dan Jawa Pos Groep telah memelopori suplai berita untuk inernal medianya sendiri. Groep TEMPO membangun KB sendiri. Lantas siapa lagi mau berlangganan ANTARA ? PSO MENOLONG? Setelah menjadi Perum dibawah Kemeneg BUMN, pemerintah mengambil langkah darurat mengatasi masalah keuangan ANTARA dengan menginjeksi dana ratusan milyar rupiah melalui proyek Public Service Obligation (PSO) yakni kewajiban ANTARA menyiarkan press release pemerintah dan berita yang bernuansa menjaga citra pemerintah. Kembali ANTARA yang sudah terpuruk menjadi semakin tidak populer. Atau mengutip celotehan seorang wartawan surat kabar di Jakarta : "Hare gene mana ada orang yang baca media press release." Konon ada sejumlah wartawan ANTARA yang masih memiliki idealisme meminta modifikasi PSO agar ANTARA juga bisa mengontrol pemerintah. Tapi pemilik PSO belum juga merespons. Tinggallah ANTARA kini ibarat "Kerakap tumbuh di Batu, hidup segan mati tak mau". Menurut Serikat Pekerja ANTARA, keterpurukan perusahaan ini juga karena management yang tidak kompeten bahkan management sekarang tidak mampu menterjemahkan core bussines ANTARA kedalam usaha yang kongkrit. Oknum Dewan Pengawas perusahaan ikut mencampuri internal bisnis ANTARA bahkan sering melancong keluar negeri dengan biaya ANTARA. Serikat Pekerja malah meminta semacam "referendum" kepada publik. Apakah KB ini tetap dipertahankan, atau direstrukturisasi lagi atau diintegrasikan kedalam perusahaan public relation pemerintah yang konsepnya kini tengah disiapkan Sekneg RI. Atau ada pendapat publik yang lain ?.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H