Mohon tunggu...
HM Noeh
HM Noeh Mohon Tunggu... -

Saat ini berdomisili di Jakata setelah 17 tahun bertugas di daerah. Hobi membaca dan nge-blog adalah hobi terbaru saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Awas Konflik Etnis Lebih Besar Akan Terjadi

30 September 2010   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_274663" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (KOMPAS.com)"][/caption] Belajar dari bentrok antar etnis belakangan ini, orang lantas berfikir bukan mustahil lambat atau cepat, konflik yang lebih besar akan terjadi lagi di Indonesia.  Kenapa tidak ! Berdasarkan teori intelejen, suatu konflik tidak berdiri sendiri. Ada symptom (gejala) prakondisinya. Secara umum bisa dianalisa misalnya faktor kemiskinan yang mendorong orang berfikir singkat, nekat, berbuat apa saja agar survive.  Berikutnya, kesenjangan antara kelompok masyarakat berpunya (the have) dan tidak berpunya (the have not)yang semakin melebar. Buntutnya kecemburuan sosial semakin menjadi. Tapi prakondisi yang menyumbang kemungkinan terjadinya konflik yang besar itu adalah pecahnya konflik antar etnis yang terjadi beberapa hari lalu di sekitar kantor Pengadilan Negeri Jaksel menyebabkan tiga orang tewas dan beberapa orang luka berat dan ringan. Kemudian konflik antar etnis di Tarakan,Kaltim yang juga telan korban jiwa dan harta benda. Masih ingatkah anda sejarah konflik horisontal di negeri ini  terturut-turut sebelum tahun 2000 hingga tahun 2004 yang dahsyat terjadi di Maluku (Ambon,Ternate, Tual), Sulteng (Poso, Tentena), pengusiran orang Bugis Makassar dari Kupang NTT dan bentrokan Madura-Dayak di Kalimantan(hampir semua kota)?. Bukankah itu diawali dengan prakondisi konflik etnis yang sporadis seperti yang terjadi sekarang di Jakarta dan di Tarakan?. Pembiaran Konflik di Maluku, NTT, Sulteng dan Kalimantan itu terjadi karena terlambat  penanganannya oleh pemerintah. Pemerintahan --ketika konflik itu-- dibawah Presiden Habibie, KH Abdurahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri baru "turun tangan" setelah konflik itu meluas dengan segala implikasinya yg kompleks.  Terkesan ada pembiaran. "Cost" yg dibayar tak terbilang. "Cost" tidak hanya diartikan pengeluaran anggaran negara yang besar, tapi nyawa rakyat dan prajurit TNI- Polri yang gugur sia-sia. Dan yang lebih utama konflik konflik itu telah mencabik NKRI yang berdiri diatas prinsip Bhineka Tunggal Ika. Akankah konflik di jl.Ampera Raya,Jaksel, dan di Tarakan yang terjadi di era Pemerintahan Presiden SBY bakal merembes kemudian  menimbulkan ekses yang lebih parah di daerah ? Mudah-mudahan tidak terjadi! Tapi Sekali lagi, semuanya terpulang pada pemerintah. (PD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun