Indonesia merupakan bangsa yang heterogen. Struktur negara yang lebih dominan wilayah perairannya menjadikan geografis Indonesia terbagi kepada banyak pulau. Kondisi tersebut berimplikasi kepada terciptanya Masyarakat dengan ciri yang khas di setiap daerah. Keberagaman suku, adat, Bahasa, dan keyakinan merupakan fakta sosial yang niscaya diterima. Keberagaman merupakan anugerah yang menjadikan Indonesia tampak lebih kaya. Terlebih di setiap wilayah ditemui sebaran potensi sumer daya yang menjanjikan jika dapat dikelola dengan maksimal. Dengan potensi yang ada, seharusnya masyarakat berkesempatan untuk tumbuh dan hidup dengan kondisi Sejahtera, aman, dan terhindar dari rasa khawatir. Faktanya masih banyak ditemui individu yang hidup dalam kondisi rentan. Keberagaman dan kekayaan sumber daya tidak selalu menjadi jaminan makmurnya kehidupan rakyat.
Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab menanggapi banyaknya jumlah Masyarakat yang hidup dalam kondisi rentan dan miskin. Secara teori, kemiskinan merupakan hal yang diwariskan dan terjadi secara struktural. Keluarga yang hidup dalam kondisi miskin berpotensi akan melahirkan orang miskin baru pula. Hal tersebut terjadi karena adanya kektimpangan akses yang signifikan. Masyarakat miskin memiliki kendala yang serius dalam mengakses fasilitas dan layanan yang berkualitas. Jika kita coba telusuri pemberitaan di media, banyak sekali berita yang mengisahkan peliknya anak-anak di beberapa daerah dalam mengakses Pendidikan. Fasilitas Pendidikan yang mereka dapatkan pun masih berada di bawah standart. Pada akhirnya anak-anak Indonesia harus mengubur segala mimpi dan harapan karena abainya pemerintah dalam mengusahakan layanan yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan.
Pertahun 2023, data penduduk miskin yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai angka 25,90 Juta orang. Jumlah yang sangat fantastis. Tentu angka tersebut merupakan yang terdata sesuai dengan kriteria penduduk miskin standart BPS. Jika mengikuti standart BPS, artinya terdapat 25,90 juta orang yang berpenghasilan di bawah 600.000 rupiah perbulan, sedangkan keluarga yang berpenghasilan di atas angka tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai penduduk miskin. Faktanya hari ini kita melihat harga bahan pokok naik secara massif. Bahkan yang berpenghasilan di atas angka tersebut pun masih luntang lantung dan hidup dengan penuh kekhawatiran, imbas dari mahalnya harga bahan pokok, biaya pengobatan dan modal Pendidikan. Dengan kondisi Masyarakat hari ini, pemerintah niscaya melakukan perencanaan yang lebih terukur dan merealisasikan program yang berdampak langsung secara positif bagi perkembangan masyarakat, bil khusus masyarakat kelas menengah ke bawah. Bukan malah berencana licik mencari keuntungan pribadi dari aktivitas pemerintahan.
Miris setelah mengetahui  angka kemiskinan di beberapa Provinsi dengan Tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia oleh BPS. Pertahun 2023, persentase angka kemiskinan di lima Provinsi dengan Tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia nyaris mencapai angka 20%. Artinya seperlima penduduk daerah tersebut berada pada kondisi rentan yang tentunya sangat membutuhkan bantuan dari Pemerintah. Kelima Provinsi tersebut adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Kelima Provinsi tersebut terletak di wilayah Timur Indonesia dengan ketersediaan sumber daya alam yang potensial, namun pemerintah terlihat tidak serius menangani permasalahan tersebut. Pemerintah cenderung melaksanakan aktivitas yang monoton dan tidak berdampak kepada masyarakat kelas bawah. Bahkan belakangan kita melihat banyaknya rakyat yang menderita imbas dari kenaikan harga BBM yang melambung tinggi. Kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok secara signifikan. Tentu kondisi tersebut menyulut api penderitaan masyarakat.
Kompleksnya masalah yang ditemui di Indonesia acap  menimbulkan praduga di Tengah-tengah masyarakat. Penulis beberapa kali mendengar pandangan dari orang di sekitar Penulis yang menganggap bahwa pemerintah saat ini tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan kelas bawah. Pemerintah terpedaya oleh kekuasaan dan sibuk membangun keuntungan oligarki yang kotor. Masyarakat dipaksa untuk menjadi penonton pertunjukan yang terkadang terlihat menjijikkan dari para penguasa. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat menstimulus munculnya prasangka tentang ketidakberpihakan para pejabat  dan pemimpin negeri. Lebih dari 20 Juta rakyat miskin yang hidup luntang lantung dan serba berkesusahan, namun mereka tidak dapat berharap kepada pemerintah yang programnya hanya sekedar formalitas belaka.
Realitas yang kita lihat hari ini mengasosiasikan bahwa pemerintah masih belum maksimal dalam menjalankan tugas dan keberfungsian. Maka, kita tidak boleh menyalahkan jika ada pihak dan segolongan orang yang berburuk sangka kepada pemerintah dan para pemimpin di Negeri ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H