Air merupakan kebutuhan dasar manusia dalam mendukung seluruh kegiatan kehidupannya. Kebutuhan air harus cukup untuk seluruh keperluan hidup, seperti mandi, mencuci, dan terutama untuk minum.Â
Namun, ketersediaan air bersih belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat. Setidaknya, terdapat 58,6 % warga yang belum memiliki akses air minum yang layak.Â
Sepertiga penduduk bahkan harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan air minum yang layak. Pemerintah terus mengupayakan pembangunan sumur bor dalam untuk memenuhi kebutuhan air di wilayah yang bermasalah dengan ketersediaan air bersih (Kompas.Id/23/03/2028).Â
Lebih diperparah ketika ketiadaan atau kekeringan mata air disebabkan oleh ulah manusia. Misalnya dalam pengembangan geotermal, masyarakat sangat diuntungkan karena hadirnya pasokan listrik yang ramah lingkungan dan dapat menjangkau wilayah yang luas.
Namun di satu sisi, hadirnya geotermal di berbagai daerah di Indonesia menyisakan cerita negatif yang berkepanjangan, salah satunya adalah mengerinya mata air yang berada di sekitar lokasi geotermal.
Pertanyaannya apakah geotermal benar-benar ramah lingkungan? Bagaimana dampak geotermal bagi mata air? Pertanyaan ini menjadi catatan kritis akan dampak kehidupan masyarakat yang diakibatkan dari energi panas bumi geotermal.
Geothermal di Indonesia
Indonesia diberkahi sumber energi terbarukan yang luar biasa, dari tenaga surya, bayu, hidro, hingga panas bumi atau geotermal. Ditambah berbagai jenis sumber energi terbarukan lain, total potensinya mencapai 439.000 megawatt. Khusus panas bumi, dari potensi 25.400 megawatt, kini baru termanfaatkan 2.200 megawatt atau 8 persen saja (Aris Prasetio,2020).
Tenaga panas bumi terbilang istimewa dibandingkan dengan sumber energi terbarukan yang lain. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih stabil ketimbang yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), ataupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTA).
Saat ini, wilayah kerja panas bumi di seluruh Indonesia mencapai 3,9 juta hektare. Namun Sebagian besar wilayah kerja panas bumi yang dioperasikan berada di kawasan yang jadi tulang punggung ruang hidup warga. (Pradipta,2022).