Menikah merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan.
Membayangkan dapat hidup berdua bersama dengan pasangan, adalah hal yang paling dinantikan.
Dan sejatinya, menikah merupakan Hak Asasi setiap manusia yang perlu untuk dipenuhi.
Namun, apa jadinya jika yang ingin menikah adalah pasangan yang memiliki keyakinan berbeda?
Apakah boleh menikah beda agama?
Sebagian orang pasti akan menghindari hal tersebut. Karena prosesnya yang sulit, dan stigma di masyarakat yang menanggap kalau menikah beda agama adalah hal yang tabu.
Tak heran, jika hanya karena perbedaan agama, suatu hubungan dapat kandas.
Perlu diketahui bahwa, Indonesia memiliki 6 agama yang diakui sah secara negara, yaitu Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Setiap agama memiliki pandangan yang berbeda-beda.
Lalu, bagaimana pandangan agama mengenai pernikahan beda agama?
Dalam Gereja Katolik, gereja tidak memperbolehkan umatnya untuk meikah beda agama. Gereja mengimbau agar mencari pasangan yang seagama. Tetapi disisi lain, Gereja Katolik tidak bisa mengganggu hak-hak asasi manusia.
Karena itu gereja Katolik tetap mengizinkan umatnya menikah beda agama dengan izin dispensasi 'disparitas kultus' atau dispensasi Gereja Katolik dalam pernikahan beda agama.
Sementara itu, dalam agama islam, dan berdasarkan dalil-dalil Al-Quran surat Al-baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10, dinyatakan bahwa haram hukumnya pernikahan beda agama.
Kemudian pendapat kedua dari para ulama adalah, pernikahan beda agama antara makruh atau mubah. Pendapat para ulama ini didasari oleh surat Al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan bahwa menikahi wanita ahlul kitab dihalalkan untuk seorang mukmin. Namun dengan syarat, wanita ahlul kitab tersebut tidak pernah melakukan perbuatan maksiat, seperti zina dan sejenisnya; dan hanya laki-laki muslim yang boleh menikahi wanita ahlul kitab, sedangkan wanita muslim tidak boleh menikahi laki-laki beda agama.
Dalam agama Kristen, menurut ayat 2 Korintus 6:14, berbunyi, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya."
Oleh sebab itu, agama Kristen melarang adanya pernikahan beda agama. Karena dalam pandangan agama Kristen, pernikahan beda agama tidak diterima oleh Tuhan, dan mereka akan dicaci maki oleh orang-orang yang beragama sama
Kemudian, dalam agama Hindu, pernikahan beda agama tidak bisa dilakukan. Sebab, dalam upacara perkawinan dalam agama Hindu dan berdasarkan tradisi turun temurun, calon pengantik pria dan wanita haruslah memeluk agama Hindu sebelum menikah. Jika tidak, maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa) sebagai penganut Hindu. Dan jika tetap dilakukan, maka pernikahan akan dianggap tidak sah dan selamanya akan dianggap sebagai perbuatan zina (samgrha).
Lalu, bagaimana pandangan agama Buddha?
Agama Buddha tidak mempermasalahkan pernikahan beda agama. Asalkan, pasangan dapat tunduk dengan tata cara pernikahan buddhis. Dengan begitu pernikahan dapat dilanjutkan.
Bagaimana dengan Agama Konghucu?
Sama seperti Agama Buddha, Agama Konghucu juga memperbolehkan pernikahan beda agama. Namun, pernikahan tidak bisa dilakukan apabila salahsatu pasangan tidak beragama Konghucu. Dan pernikahannya tidak bisa dilakukan dengan upacara pemberkatan atau Li Yuan.
Walaupun tidak dapat melaksanakan pemberkatan, Matakin tetap memberikan restu dan pengakuan bahwa telah dilaksanakannya suatu pernikahan.
Bagaimana pandangan negara Indonesia terhadap pernikahan beda agama?
Secara konstitusi, negara tidak melarang adanya pernikahan beda agama. Seperti pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu". Namun, dalam UU tersebut tidak disebutkan secara terbuka apakah pernikahan beda agama diperbolehkan atau tidak. UU tersebut hanya menyatakan bahwa pelaksanaan pernikahan dianggap sah, bila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Selain UU perkawinan yang sudah disebutkan tadi, ada UU No 39 tahun 1999, mengenai hak asasi setiap manusia.
Disebutkan dalam UU tersebut, ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh dikurangi atau diintervensi oleh siapapun.
Contohnya seperti, memilih pasangan, menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan.