Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (5)

24 Agustus 2011   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Berkata demikian dengan maksud bersenda gurau, Jayak meyingkir untuk mengaso. Tak urung, kelakarnya membuat Anton sirik. Sepertinya, dia tak sabar lagi ingin mencekik rekannya itu hidup-hidup. Pakai mau masuk pesantren kilat segala. Menjijikkan!

Dimulai dari Jayak akhirnya satu persatu mereka duduk menyebar di situ, menikmati rokok sambil menunggu Nurjana selesai membaca Yasin.

Apa boleh buat. Cinta memang memerlukan kesabaran ekstra dan itulah yang kurang dimiliki Anton. Sehingga, ayat suci yang dialunkan Nurjana bukannya membuat dia tenteram, tapi malah membuatnya resah.

“Aku jadi ndak habis pikir, untuk apa orang baca-baca Yasin di kuburan,” keluhnya ribet. “Memangnya tulang-belulang di dalam tanah itu dengar?!”

Epan terpaksa menyahut. “Soal itu ndak perlu diperdebatkan. Yang jelas baca Yasin itu anjuran. Apa lagi di kuburan, tempat setan gentayangan. Daripada berjudi atau berbuat maksiat, mending baca Yasin. Setan lari. Pahala dapat. Ya kan Yak?”

JawabanJayakcenderunguntukbergurau.“Adabenarnya. Tapi akan lebih benar lagi kalau kita diam saat orang baca Quran. Siapa tahu kebagian pahala. Lumayan. Tadinya seratus tahun masuk neraka, dikurangi jadi sembilan puluh sembilan tahun. Jadilah. Berkurang setahun penderitaan di neraka.”

Epan senyum simpul. Anton mencermati Jayak dengan mata mengecil. Jayak pura-pura buta. Dia sengaja memancing emosi rekannya itu.

“Kalian tahu? Setahun di neraka itu lama,” kelakarnya. “Beda dengan setahun di dunia ini. Kalau setahun di dunia cuma tiga ratus enam puluh lima hari, setahun di neraka mencapai tiga ratus enam puluh lima ribu hari. Sementara, sehari di neraka, sama dengan setahun di dunia ini. Bayangkan betapa lamanya setahun di neraka!”

Tak ayal, Anton pun meradang geram. “Aku yakin dengan Jayak! Bukan main! Luar biasa! Belum lagi masuk neraka sudah tahu hitungan hari di neraka! Sayang negara ini negara hukum! Kalau ndak cekik itulah! Baru habis urusan!”

Jayak dan Epan mengikik nikmat. Budi, yang sejak tadi memusatkan perhatiannya ke Nurjana, berpaling dengan mata melotot melebar. Kikikan Jayak dan Epan mereda pelahan. Dalam pada itu Nurjana selesai membaca Yasin. Budi seketika berpaling, lalu bergegas memburu sambil membuang sisa rokoknya.

Sementara pemuda itu datang memburu, Nurjana memanjatkan doa. Tiba beberapa meter di belakang perempuan itu, Budi menahan langkah lalu terpacak ragu dengan mata tersorot melintasi bahu janda aduhai itu.

Nurjana, sebenarnya, ingin berdoa sedikit panjang, dengan khusuk dan tawaduk, tanpa dibebani perasaan ditunggu. Tapi dia mengetahui kehadiran Budi, dan itulah yang mengganggu kekhusukannya. Maka dia pun mempersingkat doanya, lalu buka suara diwarnai perasaan terusik.

“Duduklah cowok ganteng. Nampaknya ada soal penting yang ndak bisa lagi ditunda. Mudah-mudahan bukan soal cinta. Kalau soal cinta kalian salah alamat. Kalian lihat sendiri. Cinta itu dalam. Sampai ke dalam kuburan!” ujarnya sambil mengemasi dan menyimpan sajadah ke tas.

Budi tak bisa mundur lagi. Walau tak enak hati dia bergerak maju lalu menghenyak di seberang perempuan itu. Duduk anggun di sebelah tumit sambil bersiap angkat kaki, Nurjana memberikan kesempatan kepada Budi untuk menyampaikan maksudnya.

“Kami mohon maaf kalau ini bukan tempatnya. Kami mengerti perasaan Kak Jana. Kak Jana sangat mencintai almarhum, almarhum terlalu cepat meninggalkan Kak Jana. Bisa kami pahami kalau sampai sekarang Kak Jana terus merasa kehilangan almarhum.”

Dimulai dengan prolog itu, Budi pun mencecar perempuan itu dengan rayuan gombalnya. “Persoalannya sekarang, Kak Jana, sebagai orang beriman kita ndak patut membiarkan diri larut dalam kesedihan. Kematian memang membuat kita kehilangan. Tapi bukankah harta, anak dan suami, ndak lebih dari titipan?”

Nurjana benar-benar penasaran, di mana anak ini belajar ceramah. Umur baru kemaren sore, gayanya sudah seperti Aa Gym. Budi cuek bebek.

“Lagi pula Tuhan itu Mahabijaksana,” sambungnya fasih. “Dia gugurkan bunga melati, Dia mekarkan bunga mawar. Dia runtuhkan gunung-gunung, Dia tumbuhkan pohon-pohon yang subur. Datang senja Dia tenggelamkan matahari, terbit malam Dia kirim kita rembulan. Patah tumbuh hilang berganti, tak ada nestapa abadi!”

Bukan main. Asyiiik banget. Intelek. Puitis. Penuh daya pesona. Persis dialog lakon WS Rendra. Salah-salah gugur iman dibuatnya. Terus?

“Cobalah tengok! Bang Edison, cowok sejati yang kini berkibar menjadi milyarder, untuk yang kedua kalinya mengirim kami menemui Kak Jana. Bukan untuk menggoda, tapi benar-benar ingin sehidup semati dengan Kak Jana. Lalu kenapa Kak Jana membiarkan diri larut dalam kesedihan sementara beliau sungguh-sungguh ingin berbagi kebahagiaan?”

Nurjana menghela nafas sepenuh dadanya lalu menyahut sekenanya. “Sekali lagi, Budi, terima kasih atas niat baiknya. Bilang sama dia, masih banyak gadis-gadis cantik yang kepingin jadi istri hartawan seperti dia.”

“Kak Jana!” seru Budi alamak bergairah. “Persoalan mencari istri bukan persoalan gadis atau janda, bukan pula persoalan cantik atau jelek. Di jaman edan seperti sekarang ini, hanya perempuan yang benar-benar soleha seperti Kak Jana yang patut dijadikan istri!”

“Jangan melebih-lebihkan, adikku,” sahut Nurjana setulus hati. “Aku manusia biasa. Sama dengan orang lain. Apa yang kulakukan cuma bertahan. Biarlah orang lain terbawa arus perubahan, aku berusaha sebisaku mengikuti tuntunan. Ndak lebih dari itu.”

“Justru itu Kak Jana! Justru itu yang diinginkan Bang Edison! Beliau menginginkan perempuan yang benar-benar dapat bertahan dalam segala keadaan. Ndak lapuk karena hujan. Ndak lekang karena panas. Ndak hanyut terbawa arus perubahan jaman!”

“Sudah siang. Ndak baik bertukar pikiran di atas kuburan,” putus Nurjana. Dia pun beranjak sambil menenteng tasnya. Budi buruan mencegatnya, “Tunggu!”

Nurjana menahan langkah. Sambil menyodor amplop yang dia tarik dari saku kemejanya, kepada perempuan itu Budi benar-benar berharap: “Untuk sementara baiklah sampai di sini. Tapi tolong, jangan tolak ini. Ndak ada apa-apanya. Sekedar uang jajan untuk anak-anak Kak Jana. Tanda perhatian beliau.”

“Terima kasih, Budi. Bilang sama Edison, tanpa pemberian apa-apa kami sudah tahu kalau dia ada perhatian,” tolak perempuan itu sepenuh hati.

Nurjana berlalu meninggalkan pemuda itu. Budi berjuang ekstra keras menahannya. “Sebentar dulu, Kak Jana! Kak Jana!” Nyatanya, Nurjana terus berlalu.

Budi terhenyak. Apa boleh buat. Demi Bang Edisonnya, dia terpaksa mengejar lalu menjajari sambil repot merayu.

“Kak Jana …. Kak Jana ndak perlu terlalu kaku. Ini pemberian tulus bukan ada udang di balik batu. Sekedar menghargai beliau, apa salahnya Kak Jana terima. Lagian,” sambungnya lepas kendali, “biar kata cuma uang jajan, isi amplop ini seratus juta! Cukup empat kali naik haji! Jaman susah begini siapa yang mau ngasih duit sebanyak ini? Jangankan seratus juta, mau bakso semangkok lagi mesti buka-bukaan dulu!” (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun