Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selingkuh Akidah (12)

6 Oktober 2011   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Belum lagi sempat mengubah gubuk derita menjadi kafe bergengsi, bencana sudah datang menerpa Edi. Ini terjadi empat bulan kemudian, hanya beberapa hari setelah dia pulang dari luar negeri.

Malam itu, habis kelayapan ke kafe sambil pamer BMW 323iA silvernya, Edi kembali ke rumah kontrakannya di kawasan City Resort yang elit. Tidak menemukan Budi, Jayak, Epan dan Anton di rumah, dia mengira dia bisa tidur nyenyak.

Maka, tiba di rumah mentereng berlantai dua itu, sambil bersiul senang dia naik ke lantai atas lalu masuk ke kamar tidur. Baru saja masuk selangkah, Edi nyaris terloncat: di kamar sudah menunggu seorang cewek. Duduk menghadap meja rias dibalut gaun belah paha merah yang seksi, dengan wajah dingin Amoi mengamati gambar rancangan mausoleum elok yang terkembang di hadapannya.

Jantung Edi berdebar. Menahan langkah di ambang pintu, matanya terbeliak menatap tempat tidur: di tempat tidur empuk itu foto berhamburan. Ada foto dia bersama Budi, Jayak, Epan dan Anton berlatar belakang Gedung Opera Sydney, Australia. Ada pula foto mereka mejeng di depan Menara Eiffel, Paris. Yang terbanyak foto syurnya dengan PSK Jakarta, Bangkok, Jepang, Hong Kong dan Baklan.

“Enak ya jadi orang kaya,” ujar Amoi sambil menggulung kertas gambar yang dia cermati. “Duit banyak. Mobil bagus. Pelesir keluar negeri. Pulang-pulang kelayapan ke kafe. Pakai tuksedo lagi. Persis James Bond!”

Merasa diledek, Edi cengengesan. Pelahan masuk sambil menutup pintu, dia mendekat dengan mata tak berkedip. Amoi beranjak dengan kertas tergulung di tangan, lalu menahan langkah ke ambang jendela. Sementara Edi terpacak membayangi dengan jantung berdebar, Amoi berceloteh bak tokoh sinetron.

Well, Edi. Emang udah saatnya kamu hidup enak. Aku juga ikut senang, karena itulah tujuanku bantu kamu. Yang aku enggak suka, Edi, cara kamu ngebalas budi!”

Membalik badan dengan ekspresi rada tak senang, doi mengusut ”istana” yang hendak dibangun Edi. “Siapa yang suruh kamu bikin ini?”

Edi gelagepan. “Enggak ada yang nyuruh, Moi. Itu murni inisiatifku. Sebagai tanda terima kasihku sama kamu. Dan aku sudah bicara dengan keluarga kamu. Dan mereka setuju. Kenapa ….? Kamu nggak suka ….?”

“Enggak Edi! Aku nggak butuh istana! Asal kamu tahu, istanaku jauh lebih megah dari yang kamu rancang! Apa yang kamu saksiin cuma situsnya aja. Istana sebenarnya ada di bawah tanah. Besar. Megah. Kayak istana raja. Yang jadi masalah, Edi, di sana aku sendirian. Aku enggak punya teman, apalagi teman kencan. Mau keluar aku sungkan, karena aku enggak suka kelayapan. Bisa dibayangin, betapa betenya aku di sana. Saking betenya, aku merasa udah lumutan!”

Edi ternganga. Amoi menyimpul. “Jadi, kalau betul kamu merasa berhutang budi dan kamu komit mau ngebayar, luangkan waktu kamu untukku. Enggak usah setiap malam, cukup seminggu sekali. Enggak harus malam Minggu, yang penting rutin dan tepat waktu. Temani aku. Hibur aku. Kencani aku. Suer, Edi. Aku suka cowok lapukan kayak kamu. Aku yakin, diajak kencan kamu pasti mengerikan!”

Edi nanar. Amoi memutus. “Udah malam. Nggak ada lagi yang perlu dibahas. Semua udah jelas. Kalau betul kamu mau ngebayar hutang, besok malam aku tunggu kamu di sana!”

Melempar kertas gambar ke meja, Amoi beranjak hendak meninggalkan Edi. Edi menahannya, “Moi!” Langkah Amoi tertahan. Edi menghampirinya lalu meraihnya bermuka-muka.

“Kalau cuma itu maunya kamu, kenapa harus besok, kenapa harus di sana ….? Kenapa nggak sekarang, di sini, di kamar ini ….? Enggak apa-apa kan? Anggap aja kartu perdana. Minggu depan dan seterusnya baru di sana. Oke?”

“Sori, Edi. Enggak di sini. Tapi di sana. Di istanaku. Tempat pertama kali kita ketemu. Asal kamu tahu. Aku bukan cewek murahan. Gak pantes lesung ngedatangin alu!”

Edi mengulum senyum. Rupanya, jauh-jauh nagih upeti, bisa juga gengsi-gengsian, pikirnya. “Oke, sayang. Kita ke sana,” putusnya. “Lagian,” imbuhnya, “aku juga penasaran mau lihat istana kamu. Siapa tahu desainnya cocok, bisa kuadopsi untuk istanaku. Oke?”

Itulah kehendak Amoi. “Siapkan pakaian kamu. Aku tunggu di mobil,” putusnya sambil menahan diri. Lalu mahluk misterius itu beranjak dan lenyap sekejap mata persis di ambang pintu. Edi terpacak deg-degan.

Besoknya, pagi-pagi buta, Edi pulang dengan tubuh dibungkus sarung, kaos oblong, jaket dan syal. Turun dari mobil sambil menenteng tas, dia menyembunyikan rasa perih di selangkangannya.

Itulah yang membuat Budi dan rekan-rekannya penasaran. Setahu mereka, Edi meninggalkan rumah dengan tubuh dibungkus tuksedo elegan. Berkali-kali mereka call saat mereka pulang, handphonenya tidak aktif. Saat meninggalkan rumah, Edi segar bugar dan enjoy. Lha kok pulang-pulang kayak petugas kamling diperkosa kuntilanak? Terus, semalam Edi kemana?

“Semalam aku sempat pulang,” tutur Edi usai menghirup seteguk kopi. “Mulanya mau istirahat. Nonton CD, sambil nunggu kalian pulang. Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat Amoi. Pikir-pikir kita baru ngomong sama keluarganya, belum ngomong sama dianya. Makanya aku ke sana,” jelasnya setengah betul.

Barulah mereka jelas Edi dari mana. Edi memperseram ceritanya. “Untung aku ke sana. Kalau ndak bisa-bisa jatuh korban. Entah arsitek, entah kita, entah tukang.”

Amoi, ujar Edi, tak sudi makamnya dipugar. Apalagi disulap jadi ”istana”. Yang dia butuhkan perhatian, bukan istana. “Jadi, kalau kita mau membalas budi, cukup perhatikan dia. Rawat makamnya. Ziarahi dia. Maunya dia rutin, minimal seminggu sekali. Dia minta malam, karena malamlah dia ekstra kesepian. Dia mau ngobrol, karena di sana dia kesepian ….”

Ngobrol. Malam-malam. Dengan sejenis jin atau hantu. Di kuburan. Dan itu rutin, minimal seminggu sekali. Karuan saja bulu kuduk Budi dan kawan-kawan pada berdiri. “Jadi Bang ….?”

“Ya terpaksarencanakita batalkan,”ujar Edi.“Diasudahwanta-wanti. Kalau ndak mau jatuh korban, makamnya jangan diutak-atik. Ya sudah. Apa boleh buat. Besok kita hubungi keluarganya. Kita jelaskan apa adanya. Bukan maunya kita, tapi kehendak yang punya makam. Kita sudah siapkan dana satu milyar untuk biaya pemugaran. Karena yang punya makam keberatan, ya sudah, mau diapakan lagi. Daripada jatuh korban ….?”

Budi dan kawan-kawan terpaku. Bukan soal pemugaran makam itu benar yang jadi pikiran mereka. Tapi kemungkinan Amoi, satu ketika, ingin ngobrol dengan mereka. Kalau itu terjadi, bisa-bisa mereka kencing di celana. Lebih gawat lagi kalau Amoi naksir mereka. Bisa-bisa mereka mati berdiri!

“Itulah oleh-oleh dari sana,” ujar Edi. “Sekarang, cepat kalian mandi, hubungi perawat jenazah. Sebanyak mungkin, bila perlu kalian siapkan jerigen. Secepatnya, kalau bisa sore ini sudah ada.”

Karuan saja Budi dan rekannya nanar. Air jenazah. Sebanyak mungkin, dan itu harus secepatnya. “Untuk apa Bang ….?” usutnya kaget.

“Kita sudah berhutang budi. Apa pun kemauannya harus kita penuhi. Semalam dia bilang badanku busuk. Aku disuruh mandi pakai air jenazah. Minimal seminggu sekali, setiap mau ke sana. Biar harum. Biar dia betah,” bual Edi kalem.

Mereka pun bergidik. “Kenapa? Kalian tahut?” usut Edi. “Jangan khawatir. Yang disuruh mandi aku. Tugas kalian cuma cari airnya. Hati-hati. Jangan sampai heboh. Kalau ditanya untuk apa, bisa-bisa kalian bikin cerita. Yang penting barangnya dapat, heboh bisa dihindari. Paham?”

Hengkang dari meja makan, Edi mengunci diri di kamar. Mencopoti semua pakaiannya, dia mencermati dirinya di cermin. Luar biasa dahsyat. Leher, dada, perut, pinggang, paha, penuh noda cupangan, gigitan, dan cakaran. Sebagian merah kehitaman, sebagian kebiru-biruan.

Menghenyak duduk di ujung tempat tidur, dia meringis melihat lecet-luka di sepanjang kemaluannya. Karena ini baru “setoran” pertama, esok-lusa bisa-bisa kemaluannya putus. “Oh my God ….,” desahnya nelangsa sambil merebahkan diri.

Sejam kemudian Budi dan Epan sudah berdiri di depan pintu sebuah rumah di kawasan berjejal. Pintu terkuak, dibungkus sarung, baju koko, kopiah putih dan syurban, Haji Mursalin menyongsong tamunya. Budi menyambut dengan “Salamu’alaikum.”.

“Mu’alaikumsalam,” balas Pak Haji ramah.

“Maaf Pak. Mau nanya. Betul ini rumah Pak Haji Mursalin?”

“Betul. Kebetulan sayalah orangnya.”

“Bapak perawat jenazah kan?”

“Betul lagi. Dan kebetulan pula baru mau berangkat merawat jenazah. Barusan dikasih tahu, di belakang sini ada yang meninggal. Ada apa kira-kira?”

“Bisa kita bicara di dalam, Pak Haji?”

“Ohya. Silahkan. Mari.”

Pak Haji membawa tamunya ke ruang tamu. Karena tuan rumah sedang ditunggu di rumah duka, Budi paham kalau basa-basi bukan saatnya.

“Jadi begini, Pak Haji. Pertama-tama kami minta maaf karena sudah menghambat Pak Haji. Kedua, karena Pak Haji ditunggu di rumah duka, kami langsung saja ke pokok masalah. Bisa kita mulai Pak Haji?”

“Silahkan. Silahkan. Gimana ceritanya?”

Budi memulai bualannya. “Jadi begini, Pak Haji. Kami ini punya Abang sepupu. Nah kemaren, beliau ini matisuri. Lamanya kurang lebih empat jam. Sudah dimandikan, mau dikafani, tahu-tahu beliau bangkit ….”

“Allahu Akbar! Innama amruhu idzaa arooda syai’an ayyaqulalahuu kun fayakun!” seru Pak Haji takbir lalu mengutip ayat 82 Surat Yasin. “Terus ….?”

“Nah terus terang, Pak Haji, selama ini beliau ini memang parah. Jangankan yang sunat, yang wajib pun lewat. Itulah sebabnya waktu matisuri kemaren beliau dapat peringatan: kalau dia kepingin kembali ke dunia, dia harus ingat mati. Salah satu caranya, harus mandi pakai air jenazah ….”

Subhanallah! Untung Tuhan masih sayang. Kalau ndak habis digebuk Munkar-Nakir!”

“Jadi, singkatnya Pak Haji,” Budi menyimpul, “maksud kedatangan kami mau minta bantuan Pak Haji, gimana caranya, supaya air bekas Pak Haji mandikan jenazah dapat ditampung untuk beliau mandi. Nah di mobil kami ada bawa empat jerigen. Kalau dapat terisi semua alhamdulillah, kalau ndak dua jerigen jadilah.”

Merogoh empat lembar uang pecahan Rp 50 ribu dari saku kemejanya, Budi berujar sopan. “Nah ini sekadar uang lelah untuk Pak Haji. Kalau kurang jangan sungkan minta ditambah, kalau lebih kami ikhlas untuk Pak Haji.”

Berupaya mencueki duit di meja, dengan semangat setengah dipompa Pak Haji memperberat tema.

“Sebentar dulu. Saya tertarik dengan peran tadi. Peran air jenazah dalam mendekatkan umat ke alam akhirat. Kalau dipikir ada benarnya. Supaya kita ingat mati, kita perlu mandi pakai air jenazah. Bila perlu tiap hari, biar tiap hari ingat mati. Saya pikir, kedepan, kalau negeri ini mau aman, mandi air jenazah perlu dijadikan gerakan nasional. Biar dari bawah sampai ke atas semua ingat mati ….”

“Justru itu, Pak Haji, kami minta bantuan Pak Haji,” ujar Epan. “Bukan cuma kali ini, tapi kalau bisa berlanjut. Beliau butuh air seminggu sekali. Sekali mandi minimal satu jerigen. Mandi tiga kali sehari. Hitung-hitung sebulan butuh stok dua belas jerigen. Jadi, kalau esok lusa ada lagi yang meninggal, tolonglah Pak Haji tampung. Soal yang lain-lain bisa kita atur. Bila perlu kita nego. Berapa pantasnya satu jerigen ….”

“Soal itu jangan dipikirkan,” ujar Pak Haji iyaiyanya. “Yang penting barangnya ada. Aku ini sudah tua. Sebentar lagi jadi jenazah. Perlu banyak beramal. Nah cuma, kalau kalian kasih, aku ndak bakalan nolak. Namanya juga dikasih. Rejeki. Alhamdulillah. Masak iya nolak rejeki? Ndak bersyukur kan? Mana jerigen kalian?”

“Di mobil, Pak Haji,” jelas Budi.

“Kalau begitu sekalianlah kita ke sana,” putus Pak Haji.

Lewat tengah hari di pinggiran kota, ketika Jayak dan Anton sedang menurunkan empat jerigen air jenazah dari gerobak untuk dipindahkan ke Kijang pick up yang mereka bawa, seorang lelaki memakai blangkon, celana tani dan surjan lurik, menyeberang jalan lalu menghampiri dan mengusut.

Opo iki?”

“Air jenazah, Pakde,” jelas Anton.

Karuan saja Pakde kaget. “Aer jenazah??? Untuk opo???”

“Untuk pupuk, Pakde. Lumayan kan daripada dibuang,” bual Anton.

“Pupuk opo???”

“Ya pupuk tanaman, Pakde. Masak iya pupuk hewan?”

Laiyo. Wis ngerti. Pupuk tanaman. Lha sekarang tanaman opo? Pangan, pekerbunan, polowijo ….?” usut Pakde fasih.

“Semua. Termasuk tanaman hias,” jelas Anton enteng.

“Lha kok bisa???”

Sementara Jayak tersenyum samar, Anton meningkatkan bualannya. “Pakde. Itulah celakanya pakar pertanian kita. Mereka pada melempem, ndak kreatif, malas eksperimen. Untung ada superpakar kita yang satu ini. Kalau tidak, kita ndak akan tahu kalau aer jenazah luar biasa bagus untuk pupuk.”

Dengan respek Pakde beralih ke Jayak. “Ooo, sampean insinyur pertanian toh?”

“Itu S1, Pakde. Beliau ini sudah S5,” kibul Anton.

Eslimo? Maksudnya?”

Anton membual kian nikmat. “Pakde. Gelar akademik itu ada lima strata. Pertama S1, insnyur tadi. Di atasnya S2, gelarnya master. Di atasnya lagi S3, gelarnya doktor. Di atasnya lagi ada S4, pakar gelarnya. Terakhir S5, superpakar. Nah beliau ini sudah S5. Superpakar. Hebatnya lagi, semua dia ambil di luar negeri.”

“Waduuuh, hebat yo sampean. Masih mudah sudah eslimo. Luar negeri lagi. Pantes dari tadi nggak banyak ngomong. Elmu padi. Makin berisi makin runduk. Salut aku ….”

Jayak menyahut iyaiyanya. “Buat saya, Pakde, yang penting gimana saya, dengan ilmu yang saya miliki, bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Alhamdulillah, berkat bimbingan Gusti Alllah, saya berhasil menemukan pupuk ultra-alternatif ini. Dan ternyata, setelah saya coba, hasilnya betul-betul luar biasa. Pertumbuhan tanaman tiga kali lebih cepat, hasil panen meningkat lima kali lipat. Karena air jenazah ini bisa didapat tanpa biaya, praktis pendapatan petani jadi berlipat. Hebatnya, Pakde, soal menjaga kesuburan tanah, air jenazah ini jagonya. Dibanding kompos atau pupuk hijau lainnya, yang satu ini jauh lebih handal. Lha kalau pertumbuhan tanaman lebih pesat, hasil panen meningkat, pendapatan petani berlipat-lipat, sayang kan kalau air jenazah dibuang percuma ….”

“Lha terus kalau ada hantunya gimana ….?” usut Pakde.

“Justru itu, Pakde, yang kita cari. Pakde tahu? Saya sudah mengadakan penelitian lanjutan selama tiga bulan. Dua petak tanaman cabe saya siram dengan air jenazah berbeda. Petak pertama air jenazah kiai, petak kedua air jenazah preman. Tiga bulan enggak saya sentuh, hasilnya jelas kelihatan. Petak pertama jadi semak belukar, petak kedua luar biasa bagus: tanaman terawat siap panen, lahan bersih kayak piring dijilat anjing. Saya penasaran. Malam-malam saya amati. Ternyata, di petak kedua ini, memang ada hantunya. Rupanya, malam-malam, hantu inilah yang merawat tanaman sambil mencabut rumput ….”

Aer jenazah preman ….,” Pakde mastiin iyaiyanya.

“Persis. Makanya, kalau Pakde ndak mau repot, pakai aja air jenazah preman. Tebas. Tanam. Siram. Tinggal. Datang tinggal panen ….”

Dikerjain habis-habisan sejak awal sampai akhir, Pakde merasa sudah saatnya dia membalas. “Lha sekarang gimana kalau aer jenazahnya aer jenazah eslimo kayak sampean ….? Gimana ….?”

Telak. Seketika Jayak cengengesan merah padam. Pakde pun meradang. “Terlalu sampean! Wong tuo! Nanya beneran! Bukannya dijawab dengan asah, asih, asuh, malah diajak guyon, diakal-akali! Mati jadi hantu tahu!? Rokok!!!”

Jayak kalang kabut merogoh rokoknya. Pakde mengeluarkan pipanya lalu action kayak pragawati: menyilang kaki sambil melipat tangan kanan ke dada, lengan kirinya berdiri mengacungkan pipa. Repotlah Jayak menyelipkan rokok ke pipa Pakdenya.

Rupanya, tak cukup sampai disitu. “Korek!!!” jeritnya. Jayak pun sibuk mengeluarkan korek api gasnya. Pakde menunggu lalu teriak. “Disulut eslimo! Disuluuut!”

Terpaksa Jayak menggamit Anton lalu berbagi tugas. Jayak menyulut rokok, Anton membantu menghisap pipa sambil bertelekan di bahu Pakde; dengan hati-hati, jangan sampai merusak action si empunya pipa. Asap rokok mengepul, Pakde menyingkirkan kepala Anton dengan satu dorongan tak sudi, sambil mendesis, “Kesel aku!” Lantas dia pun berlenggok menyeberang alamak feminim: tangan kanan terkembang berayun-ayun, tangan kiri teracung mencekal pipa.

Jayak dan Anton ternganga. Lalu saling berpandangan, lantas cekikikan nikmat.

Lepas ashar meraka sudah kembali membawa 10 jerigen air jenazah. Ketika Edi turun ke lantai bawah, semua jerigen sudah terkumpul di ruang tamu, dipisahkan masing-masing dua jerigen. Dari label yang mereka kenakan tampak, air itu berasal dari 6 jenazah.

“Alhamdulillah. Kupikir hari ini ndak ada yang mati. Rupanya banyak juga,” kelakar Edi lega. “Berapa jenazah ini?”

“Abang lihat labelnya. Enam jenazah,” jelas Budi. “Yang ini, cewek, 23 tahun, hamil tujuh bulan, mati gantung diri, kasus ditinggal cowok. Yang ini, kakek 72 tahun, mati semalam di rumah sakit, kasus digebuk massa karena memperkosa anak dibawah umur. Yang ini preman pasar, umur kurang jelas, mati subuh tadi, penyebab tiga luka tusuk, kasus berebut rejeki. Yang ini nenek-nenek 60 tahun, meninggal tadi pagi, penyebab minum racun serangga, kasus kesal sama anak-menantu. Nah yang ini aku kurang paham. Dengar-dengar agak runyam. Mungkin Jayak yang lebih tahu ….”

“Yang ini agak runyam, Bang,” jelas Jayak. “Cewek, sama cowok, lengket di kuburan, sampai mati ndak bisa lepas. Empat dukun dipanggil, semua angkat tangan. Terpaksa satu kubur berdua ….”

“Baguslah kalau begitu,” kelakar Edi iyaiyanya. “Artinya nanti malam bakal ramai. Ada preman pasar, ada tukang perkosa, ada nenek kesal, ada cewek hamil, ada two in one. Tinggal cari alasan, kenapa kalian ndak nginap di sini.”

Anak-anak itu pada cengengesan dengan bulu kuduk berdesar-desir. Edi memutus. “Bawa ke atas. Simpan di kamar mandi. Biar mereka curhat di sana,” titahnya.

Menjelang magrib Edi menyeruak keluar dari kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya yang luas dan nyaman. Berlabuh di depan cermin dengan tubuh hanya dililit handuk, dia terpacak takjub. Luar biasa. Noda cupangan, gigitan dan cakaran di sekujur tubuhnya lenyap tak bersisa.

Melepas simpul handuk sambil membuat sudut perlindungan, dia mengintip “burung”nya. Tangan kanannya menyusup masuk, membantu mencermati. Ketika itulah terdengar tegur sapa, “Kenapa ….? Lecet ya ….?”

Berpaling bagai disentak, Edi kaget setengah mati. Duduk di ujung tempat tidur sambil enak-enakan bersolek, Amoi melontarkan ledekan. “Kelewat dimanja sih. Ringkih jadinya. Baru kejepit sedikit udah pada lecet. Gimana kalau kegilas?”

Menyimpan lipstik dan cermin ke tasnya sambil merapikan isi tas, doi pun berceloteh. “Makanya, punya burung jangan kelewat dimanja. Sekali-sekali dijepit pakai pintu. Disiram pakai air mendidih. Digosok pakai balsem. Bila perlu, disikat pakai kulit duren. Biar tahan banting. Jangan gede body doang!”

Beranjak sambil mencekal kipas dan tas, menahan langkah di hadapan Edinya Amoi membidik sasaran. “Ya udah. Cepatan ganti pakaian. Kita ke sana. Biar lecetnya diobati pakai getah mangga atau ulat bulu. Biar sembuh sekejap. Lagian,” imbunya edan, “aku masih penasaran, tahan enggak kasih burung kamu kejepit semalaman ….?”

Edi terhenyak. “Moi. Aku capek, Moi. Tolong, jangan malam ini. Aku mau istirahat. Lagian, janji kita kan seminggu sekali. Bukan saban malam.”

“Tuh kan kamu. Udah pinter bikin alesan. Lupa ya sama bonus puluhan milyar? Nah ngitung bonus puluhan milyar enggak capek, ngasih bonus satu malam aja pada capek! Nggak butuh lagi ama kita-kita ….? Iya ….?”

Edi menghela nafas panjang. “Oke, Moi, oke. Aku kasih bonus. Tapi tolong, Moi, jangan ditarik-tarik, jangan digigit-gigit. Putus, Moi, putus!” sungut Edi resah.

“Edi sayang. Itu spontan, bukan sengaja,” kilah Amoi disertai senyum membayang. “Habis burung kamu sih. Udah kayak burung onta, galak lagi. Baru kesenggol sedikit, udah mau matuk. Siapa yang enggak gemes?”

Edi dilanda keresahan. Amoi cuek bebek. “Aku tunggu di mobil ya?” rayunya. Lalu, klik, dia melancarkan kedipan genit. Karuan saja Edi terbeliak nanar. Amoi hengkang lalu lenyap persis di ambang pintu.

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun