Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selingkuh Akidah (11)

3 Oktober 2011   07:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

3. Sekutu dan Seteru

SEPERTI sudah bisa dinujum, kegagalan Budi dan kawan-kawan merayu Nurjana untuk yang kedua kalinya, membuat Edi Bopeng mencak-mencak.

“Kupikir kalian ini hebat betul! Playboy semua! Nyatanya nol besar! Baru ngurus Nurjana, kalian sudah keok! Berhenti jadi playboy! Percuma kalian petantang-petenteng macam bintang Hollywood kalau ngurus janda lagi ndak becus!”

Budi, yang merasa paling bertanggung jawab atas ketidakbecusan itu, merasa berhak membela diri. “Bang. Sabar dulu. Kita ini baru mulai. Abang pikir gampang apa? Abang jangan lupa. Kak Jana bukan janda sembarangan. Jangan Abang samakan dengan janda kebanyakan. Lagian, sabar sedikit kenapa sih? Begitu ngomong maunya langsung jadi. Memangnya kunyit sama kapur?”

“Dengar Budi!” salak Edi resah. “Kalau dia sudah kawin dengan jahanam lain, aku ndak butuh lagi playboy hebat macam kalian ini! Ngerti kalian?!”

“Astaga! Kenapa Abang jadi ndak PD begini? Bang! Jangankan cuma Nurjana, artis beken pun bisa Abang giring ke pelaminan! Lagian mana mungkin dia jatuh ke tangan jahanam lain? Jangankan jahanam lain, Edison pun ndak gampang!”

Dagu Edi terangkat. Anton mengangkatnya lebih tinggi lagi. “Itu sudah jelas, Bud. Mana mungkin Bang Edi ketinggalan kereta. Penampilan oke. Duit banyak. Ilmu tinggi. Nah cuma, sebaiknya, hal seperti ini kita bicarakan di tempat yang santai. Dengar-dengar Bang Edi mau makan siang di Alaska. Kalau mau ke sana sebaiknya sekaranglah. Mumpung belum kelewat lapar. Kalau sudah kelewat lapar percuma. Biar makan lauk onta sekali pun ndak bakalan selera!”

Epan pura-pura mendelik. “Sabar dulu, Ton. Kita ini sedang ketemu masalah. Masalah, sekecil apa pun, harus dipecahkan sampai tuntas. Iya kan Yak?”

“Tuntas sih barangkali belum,” sahut Jayak iya-iyanya. “Tapi kupikir sudah saatnya kita introspeksi, kenapa hajat Bang Edi lagi-lagi bermasalah. Bayangkan. Janda. Kere. Punya anak dua lagi. Susahnya setengah mati. Dikasih cek seratus juta, diantar langsung ke kuburan, jangankan diterima, disentuh juga ndak! Kalau ndak ada apa-apanya, ndak mungkin setragis ini ….”

Edi melotot. “Apa maksudmu?!”

“Bang. Sekali lagi aku ingatkan. Abang memutuskan hubungan sepihak. Dan sejak putus hingga jatuh korban, bahkan sampai sekarang, Abang ndak pernah lagi ke sana. Wajar kan kalau dia murka lalu mengutuk Abang habis-habisan ….?”

Edi terhenyak. Kutukan. Lagi-lagi kutukan. Apa iya semua kesukaran ini disebabkan kutukan? Kalau iya, haruskah dia menjilati ludahnya sendiri? Kalau harus, benarkah tidak akan muncul persoalan baru?

HUBUNGAN misterius itu terjalin ketika suatu malam tiga tahun silam, pada puncak perjuangannya mencari angka togel jitu, dan itu setelah menghiba di ratusan makam juga tidur di puluhan keranda, Edi ngeyel mendatangi makam peranakan Tionghoa 58 kilometer di luar kota.

Tidak ada alasan prinsip kenapa makam itu dia pilih. Pertimbangannya semata karena makam itu terbilang baru. Karena terbilang baru, dia perkirakan arwah si empunya makam masih gentayangan di situ. Dengan ngeyel menghiba di sana, Edi berharap si arwah iba melihatnya lalu berkenan memberikan angka togel jitu. Mengira jasad yang terbaring di situ seorang kakek, si empunya makam dia sapa “Kek”.

Ditemani beberapa batang lilin merah, garu bakar, dan sejumlah kertas bertuliskan aksara Cina yang dia dia tancapkan di seputar makam beton melingkar megah itu, sambil memejamkan matanya malam itu Edi menghiba minta dikasihani.

Dia, katanya, betul-betul orang miskin. “Kelja tidak punya. Luit tidak punya. Bini juga tidak punya. Sungguh, Kek, kita tidak bohong. Kita betul-betul olang miskin. Makanya ini malam kita olang datang lagi sama Kakek. Kita tahu Kakek olang baik. Cuma Kakek yang mau tolong sama kita punya maksud ….”

“Buka matamu, sayang ….,” sahut si empunya makam mengejutkan.

Edi kaget setengah mati. Di level makam telah duduk amoi yang cantik. Mejeng di situ dibalut gaun belah paha yang seksi berwarna merah, mahluk misterius itu mempercantik diri lewat cermin mungil di kotak bedaknya. Menutup si kotak bedak, Amoi mengalihkan perhatiannya ke cowok bopengan yang melotot tolol di hadapannya.

“Jelas kan?” tegasnya. “Aku lebih pantas jadi cucu ketimbang kakek atau neneknya kamu. Dan kamu datang ke aku, meratap-ratap, minta dikasihani. Bukan satu dua kali, tapi sudah puluhan kali. Sampai-sampai aku hafal keluhan kamu. Enggak punya kerja, enggak punya duit, enggak punya istri. Edi,” ujar Amoi iyaiyanya, “aku bukan enggak kasihan sama kamu. Tapi kalau kamu minta kerja, minta duit, minta istri, jelas kamu salah alamat. Aku bukan Depnaker, bukan bank, bukan biro jodoh. Enggak mungkin kan aku bisa penuhi permintaan kamu ….?”

Edi bergolak. “Mungkin Moi! Sangat mungkin! Saya nggak minta kerja! Nggak minta duit! Nggak minta istri! Yang saya minta cuma angka togel! Beri saya empat angka jitu! Biar saya kaya mendadak! Biar semua bisa saya beli!”

Amoi mencermati mahluk jelek di hadapannya. Edi dibuat tak sabaran. Menegak badan sambil berlutut, dia pun resah memohon. “Please Moi! Please! Saya sudah capek, Moi, jadi orang miskin! Sudah saatnya saya jadi orang kaya!”

Amoi berlagak ogah-ogahan. “Sebenarnya aku sungkan, Edi, bantu kamu. Aku belum kenal siapa kamu, yang lain bisa cemburu. Tapi, karena kamu sudah datang puluhan kali, dicuekin masih juga nekat, apa boleh buat, kamu harus kubantu ….”

Laksana negara miskin dijanjikan bantuan oleh IMF, Edi seperti terlepas dari himpitan buldoser. Amoi buruan mengingatkannya.

“Tapi ingat, Edi. Aku bantu kamu, bukan bantu sinterklas. Satu aja orang yang kamu kasih, kamu enggak bakalan dapat apa-apa! Itu yang pertama. Kedua, pasangan kamu enggak boleh lebih dari satu juta, dan itu harus dipecah seribu. Oke?”

Edi seperti buaya digiring ke sungai. “Oke Moi! Oke! Semua titah kamu akan saya patuhi! Yang penting empat angka jitu! Biar nasib saya benar-benar berubah!”

“Ya udah. Sekarang kamu perhatiin. Biar enggak salah persepsi,” putus Amoi. Lalu, berdiri sambil berpaling, mahluk misterius itu berseru, “Tomaaasss! Buruan! Cowok lapukan mau kenalan sama kamuuu!”

Berpaling mengikuti Amoi, Edi mempertajam mata dan telinga. Diawali bunyi gemuruh seperti bunyi letusan gunung api seiring merebaknya kabut putih serupa awan di seputar makam, terdengar erangan dahsyat yang kian lama kian mendekat.

Tak kuasa menahan takut, Edi berpaling ke Amoi. Maksudnya, mohon perlindungan. Tapi alangkah kagetnya Edi: yang berdiri di hadapannya bukan lagi Amoi yang cantik, tapi mahluk mengerikan itu.

Tubuhnya jangkung. Berkaki dan bertangan seperti manusia, wajahnya menyerupai wajah monyet. Sementara ekornya persis ekor buaya. Kulitnya berbulu dan bersisik, campuran kulit monyet dan kulit buaya. Kukunya panjang-panjang, macam kuku Mak Lampir.

Begitu Edi berpaling, Tomas mendesis “Kkkhhhhh” sambil memamerkan giginya yang karatan. Melihat Edi termundur, dia menjulurkan mukanya ke depan hidung Edi. Edi nyaris terpekik. Tak kuasa mengendalikan rasa tahut, dia memejamkan mata rapat-rapat sambil menyangga kedua tangannya ke belakang.

Ketika itulah Tomas memulai aksinya. Menghenyak duduk di hadapan Edi, dia mencekal pergelangan kaki pecandu togel itu sambil menyusupkan tumit ke selangkangannya. Lalu, sambil menarik kaki Edi, dia menggeletarkan tumitnya ke “telur burung” calon miliarder itu.

Tak ayal, Edi meronta kegelian sambil menjerit-jerit minta dihentikan perlakukan yang cenderung memutuskan nyawa itu. Dan, semakin Edi meronta dan menjerit, Tomas semakin bergairah meningkatkan aksinya. Edi pun tak kuasa bertahan. Dia rebah terkapar setengah melek setengah meram, dengan ekspresi menyeringai begitu rupa.

Besoknya, lewat tengah hari, Budi melepaskan diri dari kepungan pecandu togel yang memadati ruang belakang rumah salah seorang pengedar. Keluar lewat teras samping, dia menghampiri Epan yang menunggu di motor Honda stanglang modif yang parkir di halaman depan. Epan menyambutnya dengan pertanyaan, “Sudah?”

“Sudah. Nih!” sahut Budi sambil menyerahkan tanda bukti pembelian togel. Epan mengambil dokumen itu sambil berujar,“Ramai kelihatannya.”

“Bukan lagi ramai. Antri. Persis mau nonton Liga Itali.”

“Ada yang nanya?”

“Ada tadi. Cewek.”

Mata Epan membesar. “Cewek?”

“Iya. Cewek,” sahut Budi iyaiyanya. “Kupikir gila juga nih cewek. Cakep-cakep buka buku mimpi. Kenapa ndak buka rok sekalian. Sekali buka seratus ribu, sepuluh kali sudah sejuta. Mau apa lagi?”

Epan rada sangsi tapi tak urung penasaran. “Nanya apa dia?”

“Nanya. Mimpi apa beli dua tiga empat dua. Kubilang mimpi cewek. Datang ke rumah. Ngelapor. Pahanya sobek. Dua-duanya. Yang satu digigit monyet, yang satu dicakar buaya. Makanya kubilang kita beli angka monyet sama buaya ….”

“Terus ….?”

“Ih, dia bilang, gatal! Ya sudah, kubilang, kalau gatal. Digaruk. Mau apa lagi. Kuku sudah panjang-panjang macam kuku Mak Lampir. Ndak puas pakai kuku pakai sisir. Ndak juga puas pakai sikat besi. Belum juga puas, telanjang di tepi sungai, suruh buaya yang nyakar!”

Mereka ketawa cekikikan. Epan menyimpan dokumen yang dia cekal ke tas pinggangnya lalu memutus: “Well. Sudah beres empat ratus lima puluh lobang. Tinggal lima puluh lobang lagi. Gimana kalau kita tembak satu lobang?”

“Jangan,” cegah Budi tak mau ambil resiko. “Bang Edi kan sudah wanta-wanti, satu juta seribu pengedar. Nanti ada yang ikutan beli, angka ini meleset, beliau ngamuk ….”

“Ya sudah kalau begitu. Kita cabut. Mumpung masih siang,” putus Epan.

Bila keduanya mendapat tugas di dalam kota, Jayak dan Anton diminta gerilya keluar kota. Menjelang sore mereka sudah parkir di batas kota. Sambil duduk di motor Suzuki A100 permak yang parkir di tepi jalan, Jayak menghitung tanda bukti pembelian togel yang menumpuk di tangannya. Sementara Anton enak-enakan mengencingi tembok.

Kembali ke motor, Anton merogoh rokok di saku jaket rekannya. Lalu, sambil sejenak menikmati rokok, dia mengedar pandang. Lalu lintas keluar masuk kota lumayan ramai. Kendaraan lalu lalang datang dan pergi, tanpa mempedulikan mereka. Jayak berceloteh.

“Seribu perak dapat bersih sejuta sembilan. Satu juta hampir dua M. Bukan main. Kalau nanti malam Tomas benar-benar keluar, kaya Bang Edi. Sementara kita, paling jadi seksi repot. Gimana kalau kita nyelip barang sepuluh ribu? Lumayan kan dapat sembilan belas juta?”

“Jangan,” cegah Anton ribet. “Beliau kan sudah wanta-wanti, ini angka pribadi, bukan angka salome. Nanti angka ini meleset, kita ketahuan nyelip, beliau ngamuk ….”

“Itu kalau. Kalau kau setuju. Kalau ndak ya sudah. Kita laksanakan sesuai perintah. Tapi Bang Edi jangan ingkar. Aku ndak mau tahu. Pokoknya, kalau angka ini jitu, jatah kita motor anyar!” ujar Jayak resah.

“Gampanglah itu. Bisa diatur. Yang penting nurut dulu. Baru nuntut ….”

HP di saku jaket Anton berbunyi. Doi buruan mengangkat lalu mencak-mencak. “Kalian di mana anak jadah?! Punya HP aktifkan. Jangan buat aksi-aksian! Kalian tahu ndak? Siang tadi kami pecah ban! Nuntun sepanjang jalan! Keringat ngucur sampai ke tumit! Nelpon kalian ndak nyambung-nyambung! Kalian simpan di mana itu HP? Nanti HP itu kuinjak-injak baru tahu rasa! Nih, Jayak mau ngomong!”

Jayak mengambil HP dari rekannya lalu menyapa dan menyahut rileks. “Halooo. Ya biasalah. Kelebihan garam. Naik tensi. Kebetulan habis nyiram tembok. Kurang cairan. Mau ngebir modal cekak. Mau nyusu kuntilanak belum lewat. Kebetulan HP kalian buat aksi-aksian. Pas kan susunya?”

Sambil menunggu hidangan makan berat yang mereka pesan, Epan berceloteh menggunakan dialek lakon Abdul Muluk. Tentu saja dengan maksud berenda gurau.

“Kalau begitu ceritanya, sahabat, suruhlah dia empunya diri istirahat di taman baiduri. Biar tensinya sedikit turun and perangainya sedikit bijak bestari. Sekarang, dengarlah Yang Mulia Sultan Budiman mau berperi kepada sahabat empunya diri ….”

Menyambar handphone di tangan rekannya, Budi menyingkir keluar lalu bicara dengan Jayak sambil berputar-putar di halaman parkir rumah makan padang di jantung kota itu.

“Yak. Sekarang kalian di mana? Gimana? Beres? Terus, nanti malam kita ngumpul di mana? Jangan. Sekarang bokap ada di rumah. Aku ndak mau dengar omelan. Ya di rumah kaulah. Di sana kan banyak wartel. Biar kita kontak Apin via wartel. Bila perlu kita minta dia nelpon langsung ke Singapur. Biar puas. Iya kan?”

Lepas magrib telpon di salah satu rumah di kawasan Senen, Jakarta, berbunyi susul-menyusul. Apin berbegas menyambut dengan dialek peranakan Tionghoa yang kental.

“Halooo. Ya betul. Ini siapa ya? Ooo sudaranya Edison. Ada apa ya? Udah, udah. Dua tiga ampat dua! Dua tiga ampat dua! Monyet kawin sama buaya! Bohong gimana? Orang saya sendiri yang telpon ke Singapur kok! Bener. Saya nggak bohonglah. Tanya Asen kalo nggak percaya. Dia juga barusan telpon saya. Kenapa? Edison ada pasang ya ….?”

“Ini fakta. Bukan fiksi. Mimpi Bang Edi benar-benar jadi kenyataan!” ujar Budi bergolak. Bergegas keluar bilik, mereka membayar rekening telpon lalu menghambur keluar wartel.

Tak sampai sejam kemudian dua motor butut meraung-raung melintasi jalan setapak menuju gubuk derita Edi di pinggiran kota. Berhenti di depan gubuk dengan aksi gila-gilaan, seperti dikejar setan mereka naik ke beranda lalu menggedor pintu, “Bang! Bang Edi! Baaaang!”

Berulangkali memanggil dan menggedor tak ada sahutan, Budi dibuat tak sabaran. Pintu dia terjang. Mereka menerobos masuk. Tiba di dalam langkah mereka terhenti seketika. Apa yang mereka saksikan benar-benar menyentak jantung mereka.

Berpijak di bangku yang dia tumpangkan di meja, leher Edi terlilit tali yang terjulur dari bubungan. Sekali bangku yang dia pijak dia tendang, tamatlah riwayatnya: tali akan menjerat lehernya!

Jelaslah apa yang hendak dilakukan Edi. Apabila angka togel yang dia pasang meleset, dia segera mengakhiri hidupnya. Karuan saja Budan dan kawan-kawan terpekik ketakutan, “Baaaaang!”

“Kalian jangan coba-coba mendekat,” Edi melontarkan peringatan. “Asal kalian tahu. Rumah ini sudah kusiram dengan bensin. Sekali kalian maju, kalian akan ikut jadi abu. Sekarang cepat kalian katakan, apa yang kalian dengar di Jakarta?”

“Tomas Bang! Kepala Monyet Ekor Buaya! Bunuhlah kami kalau kami bohong! Mimpi Abang benar-benar jadi kenyataan!” pekik Budi bergolak.

Edi terguncang. Tubuhnya oleng. Lalu melorot, seakan tak bertulang. Budi dan ketiga rekannya menghambur naik ke meja, lalu menggotong calon miliarder itu ke tempat tidur.

Ternyata tebakan Edi tidak meleset. Dalam buku tafsir mimpi, angka monyet 23 dan angka buaya 42. Amoi memberinya “hewan” berkepala monyet berekor buaya, dan dia menggadaikan motornya untuk memasang angka 2342. Angka itu benar-benar jitu, matanya berkunang-kunang membayangkan duit 1,9 miliar.

Besok malamnya, menjelang isya, duit itu sudah masuk ke salah satu kamar hotel Alaska. Sambil mencekal bir kaleng, dengan mata berkaca-kaca Edi menumpahkan uneg-unegnya.

“Sekarang aku baru yakin kalau nasib kita sudah berubah. Kukatakan kita, man, karena perubahan nasibku juga berarti perubahan nasib kalian. Silahkan ambil! Masing-masing seratus juta! Penuhi kebutuhan kalian! Selanjutnya, siapkan pesta Selamat Tinggal Gubuk Derita. Sewa gedung, undang teman-teman, panggil artis ibukota. Meggy Z. Evie Tamala. Ike Nurjana. Kristina. Jangan lupa, Imam S. Arifin. Aku ingin dia menyanyikan lagu Senandung Rembulan untuk seseorang yang sangat berarti di masa laluku ….”

Anak-anak itu terpacak bengong. Edi penasaran. “Kenapa kalian bengong? Bagi itu duit! Penuhi kebutuhan kalian! Segera siapkan pesta perubahan nasib! Aku ndak sabar lagi mau menutup efisode gubuk derita bersama penyanyi favoritku!”

“Sebentar, Bang,” potong Budi risau. “Kami bukan ndak setuju perubahan nasib kita rayakan. Tapi, kalau untuk itu harus buking artis papan atas, apalagi sampai lima orang, kocek kita bisa kebobolan ratusan juta!”

Budi pun sibuk berhitung. “Asal Abang tahu. Tarif penyanyi papan atas paling miring tiga puluh juta. Lima penyanyi sudah seratus lima puluh juta. Belum lagi tetek-bengek lain. Hitung-hitung dana yang harus kita keluarkan mencapai dua-tiga ratus juta!”

Budi pun mengingatkan, duit Edi hanya 1,9 M. Dipotong untuk mereka 400 juta, tinggal 1,5 M. Dipotong lagi untuk biaya pesta, tinggal 1,2 M. Edi perlu rumah, mobil, modal usaha.

“Sekarang ini,” jelas Budi fasih, “yang namanya rumah, tiga ratus juta belum ada apa-apanya. Rumah nyaman yang kita lihat di sinetron itu bukan cuma ratusan juta, tapi milyaran. Belum lagi mobil. Apalagi kelas-kelas Mercy atau BMW. Hitung-hitung, habis bikin rumah, beli mobil, modal Abang tinggal tiga-empat ratus juta. Dengan modal segitu, Abang bisa buka usaha apa ….?”

“Itu yang pertama, Bud,” tukas Jayak. “Yang kedua, kita jangan jadi kacang lupa dikulit. Nasib kita berubah berkat bantuan Amoi. Sebagai tanda terima kasih, apa salahnya makamnya kita pugar. Bila perlu kita atap sekalian, biar kayak makam raja-raja. Kurasa, dua ratus juta lebih dari cukup.”

“Lebih penting lagi, Yak,” sambung Epan, “Bang Edi lahir ke dunia bukan langsung turun dari langit. Sekaranglah saatnya kalau mau membalas budi orang tua dan sanak-saudara. Daripada dibuang percuma untuk pesta pora, mending dikasih ke mereka. Bagi-bagilah, terserah untuk apa.”

“Ada benarnya, Bang,” ujar Anton. “Belum saatnya kita foya-foya. Okelah perubahan nasib kita rayakan. Tapi cukuplah murah meriah. Ndak perlu terlalu wah. Bila perlu kita gelar di Gubuk Derita. Bikin panggung. Beli minuman. Undang kawan. Panggil artis lokal. Nyanyi. Joget. Hepi-hepian. Murah. Meriah. Ndak perlu ratusan juta ….”

“Kalau itu masalahnya, Anton,” sahut Edi, “kalian ndak perlu resah. Asal kalian tahu. Waktu aku pingsan semalam, Amoi datang mengucapkan selamat sambil berpesan: kalau aku mau, Tomas bisa kubolak-balik sampai enam kali. Dengan syarat: pertama, setiap kali pasang ndak boleh lebih dari satu juta; kedua, setiap kali pasang harus diberi jarak dua, tiga, empat, dua, satu dan enam priode, dan itu harus tetap dipecah seribu ….”

Anton dan kawan-kawan terperangah. “Jadi,” simpul Edi, “kalian ndak perlu khawatir. Dalam waktu dekat rejeki yang bakal masuk bukan cuma satu-dua milyar, tapi belasan milyar. Buang duit dua-tiga ratus juta untuk merayakan perubahan nasib ndak akan menguras modal, apalagi sampai menghambat rencana pemugaran makam Amoi ….”

Anak-anak itu benar-benar takjub membayangkan rezeki yang bakal masuk ke brankas Edi. Bukan cuma 1-2, tapi belasan miliar! Oh my God!

“Tapi sudahlah,” putus Edi. “Kalau maunya kalian kita berhemat, aku setuju ide Anton. Asal kalian tahu, dalam waktu dekat Gubuk Derita akan kusulap jadi kafe bergengsi. Sebagai cikal bakal, oke, kita gelar pesta perubahan nasib di sana!” (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun