Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selingkuh Akidah (10)

23 September 2011   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DUDUK di kursi teras mengenakan sarung dan kemeja batik lengan pendek, ayahanda Nurjana, pensiunan PNS berwajah bersih, sejuk dan segar, membaca tabloid Jumat edisi pekan itu.

Motor Yamaha F1ZR hitam silver berbelok masuk ke halaman rumah. Wajah si kakek terangkat. Ternyata Nurjana pulang bersama putra-putrinya. Taufik, 7 tahun, berseragam SD, duduk di buritan. Adiknya Efril di depan mamanya. Senyum si kakek tersungging.

Motor kemudian berhenti di depan teras. Taufik turun sebagaimana adiknya Efril. Mereka naik ke teras sambil menyapa kakek mereka dengan riang.

“Kakek. Salamu’alaikum,” ujar si abang mendahului. “Mu’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh,” sahut si kakek senang. Taufik mencium tangan kakeknya lalu duduk di kursi untuk membuka sepatu.

Efril datang menyusul. “Salamu’alaikum, Kek,” sapanya tak kalah riang. Lagi-lagi si kakek menyahut salam cucunya dengan lengkap dan senang. Dan, sebagaimana abangnya, Efril mencium tangan kakeknya dengan santun. Si kakek melayani dengan wajah berseri-seri. Lalu, sambil menjentik hidung cucunya, orang tua itu berujar, “Aduh aduh aduh aduuuh, pinternya cucu Kakek. Tapi kok pulangnya telat ya?”

Sementara Nurjana pelahan duduk di kursi sembari senyum simpul, dengan lancar Efril menjawab, “Efril, sama Mama, sama Abang, belanja. Nanti sore temen Efril ulang tahun. Jadi, pulang sekolah beli kado dulu. Telat deh pulangnya.”

“Ooo beli kadooo,” sahut si kakek mahfum. “Mau ulang tahun. Pantes Kakek tunggu-tunggu belum juga pulang. Kakek pikir sudah nyusul Oom Edonya.”

Sementara mamanya senyum simpul mendengar Oom Edonya si kakek, si abang menyahut bertendensi meledek. “Iya Kek. Mau ulang tahun. Makanya maksa Mama beli CD. Mau nyanyi. Sekalian ngebor. Kayak itu tuh. Inul.”

“Yaaa Abang. Siapa yang mau ngebor?” si adek menyahut setengah protes. “Anak kecil kan belum boleh goyang Inul. Iya kan Kek?”

Si kakek ketawa terkekeh lalu memutus. “Ya sudah. Ndak usah dibahas. Sekarang ganti baju, terus makan bareng Kakek. Hmmmbbb.”

Berkata demikian si kakek dengan gemas mencium kening cucunya. Efril beranjak masuk, si kakek beralih ke si abang. “Abang jangan lupa tuh. Habis makan buruan mandi. Pakai pakaian yang bersih, sholat Jumat bareng Kakek.”

“Beres, Kek,” sahut si abang iyaiyanya. “Ufik kan anaknya Mama. Masak iya anak Mama lupa sholat Jumat. Iya kan Ma?”

“Ya udah. Cepatan. Nanti keburu adzan. Sepatunya dibawa masuk tuh,” putus si mama. Si abang berlalu masuk sambil meneteng sepatunya, perhatian Nurjana beralih ke ayahnya. “Ayah belum makan?”

“Ya belum. Nunggu kalian. Kupikir pada kemana. Jam segini belum pulang,” ujar si kakek.

Nurjana pun repot menjelaskan duduk perkaranya. “Beli kado. Temannya mau ulang tahun. Keluar masuk toko ndak ada yang cocok. Cerewetnya ndak ketulungan!”

“Mau beli apa?” usut si kakek sambil menyungging senyum.

“Mulanya mau beli boneka. Sudah mau dibungkus ndak jadi. Ganti kotak pensil. Sudah mau dibayar ganti lagi boneka, tapi ditambah bando. Bandonya ndak mau yang lain, maunya pink, ada kembangnya, ada manik-maniknya ….”

Si kakek terkekeh. Nurjana menarik nafas panjang lalu beranjak sambil menenteng tas dan plastik belanjaan. Ketika itulah terdengar bunyi telpon rumah, disusul suara kencang si abang, “Ma! Buruan! Oom Edo!”

SEMENTARA tuan rumah riang dan mesra menyambut telpon doinya, Leni membiarkan dirinya terbenam di ruang usaha. Selain order jahitan menumpuk, dia tak bisa lagi bersandiwara ikut merasakan kebahagiaan tuan rumah. Sebab, makin dia paksakan, makin menyesakkan dadanya.

Bayangkan. Janda beranak dua. Bukan artis, bukan janda kaya. Bisa menggaet perjaka tulen jebolan Akpol. Sedangkan dia, gadis tulen, diploma tiga, bukan perawan tua, jangankan jebolan Akpol, bahkan prajurit palang pintu pun tidak kebagian.

Lebih tragis lagi, sebelumnya, berkali-kali tuan rumah menjodohkan dia dengan si jebolan Akpol. Dan, sampai si Oom mutasi, jangankan jadian, bahkan ngobrol pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun jauh dari suasana spesial. Sampai suami tuan rumah meninggal, disusul berita mengagetkan itu: si Oom melamar tuan rumah. Bagaimana dia tidak terpukul?

Memang sih, dia tidak secantik tuan rumah. Dia juga bukan qoriah, apalagi menjuarai MTQ berkali-bali. Tapi dia gadis tulen. Bukan sekadar belum menikah, tapi benar-benar masih perawan. Kalau sangsi silahkan dites. Biar jelas masih berdarah atau tidak!

Lagian, soal kecantikan, dia tidak jelek-jelek amat kok. Bukan bermaksud meledek bila teman-temanya mengatakan dia mirip Febi Febiola. Hanya dia hitam. Tapi hitam manis, bukan pantat kuali. Itu pun pada umumnya. Pada khususnya, dari paha sampai ke daerah pribadi, tak kalah putih dari kulit langsat.

Soal jatidirinya sebagai muslimah, dia juga tidak kalah saingan. Dia bukan cewek gampangan, jilbab yang dia pakai bukan sekadar topeng. Walau bukan qoriah, dia juga fasih baca Quran. Jangan pula dilupakan, semasa kuliah dia juga aktifis Islam. Beberapa kali dia ikut turun ke jalan, menentang maraknya perjudian dan merebaknya kemaksiatan.

Soal skil, dia tidak akan bekerja di situ kalau tidak punya keterampilan. Bahkan, dialah aktor intelektual di balik kucuran dana kredit UKM. Dengan kucuran dana itu tuan rumah tidak saja dapat mengembangkan usahanya, tapi juga bisa kebagian proyek pengadakan pakaian dinas PNS Pemkot.

Dengan kualifikasi itu, rasa-rasanya lebih dari pantas dia menjadi pendamping perwira polisi berbasis pesantren. Dan, ketika si perwira polisi dilantik jadi Kapolsek, dia tidak akan malu-maluin duduk sejajar dengan istri Camat dan istri Danramil. Sementara, sebagai ketua Bhayangkari kecamatan, dia lebih dari punya bekal untuk membina istri bawahan suaminya.

Tapi entah mengapa, si perwira polisi kecantol tuan rumah. Keras dia menduga, daya tariknya lebih dari sekadar kecantikan luar-dalam. Sebagai qoriah, bisa saja tuan rumah mengamalkan ilmu Nabi Daud. Sehingga, begitu mendengar suaranya, orang akan merindukan dia. Suaranya terus terngiang-ngiang, bahkan sampai bertahun-tahun.

Atau barangkali, tuan rumah menggunakan ayat Al Quran untuk menaklukkan pria idamannya. Konon, ayat 31 Surat Ar-Ra’d, kalau dibaca berulang-ulang sehabis sholat wajib, apalagi disertai bacaan tertentu, sangat ampuh untuk mahabbah.

Atau barangkali pula, dia memakai pelet. Lewat makanan dan minuman, setiap kali si Oom bertandang. Bahkan bukan tak mungkin itu sudah dia lakukan sebelum suaminya meninggal. Waktu itu, mungkin, dia mengincar keperjakaan-nya. Konon, menurut sebuah majalah pria, tante-tante di Jakarta doyan arisan perjaka. Biar awet muda.

Atau siapa tahu pula, dia punya susuk. Lihat saja mata dan senyumnya. Jangankan cowok, cewek pun terbius. Sepertinya, angin pun berhenti bertiup bila dia melirik atau tersenyum. Mungkin susuk itu ditanam di mata dan bibirnya. Habis, kalau tidak, masak iya sih perjaka tulen, jebolan Akpol, hafiz Quran, maching dan simpatik, tergila-gila kepadanya?

Lebih seru lagi, belakangan muncul pula penggemar baru. Bukan sekadar iseng, tapi serius mengajak nikah. Bukan pula duda atau Oom-Oom, tapi lagi-lagi perjaka tulen. Miliarder lagi. Apa iya modalnya cuma kecantikan luar-dalam?

Menyeruak masuk ke ruang usaha, Nurjana seperti mau mengurut dada. “Ya ampun Tanteee, Tanteee. Kupikir pada kemana. Sunyi senyap ndak ada suaranya,” ujar perempuan itu lepas.

Leni menyahut cuekan. “Namanya juga orang kerja. Kerja beginian lagi. Masak iya pakai berisik segala. Memangnya anak band,” ujarnya sambil terus mendesain bahan jahitan.

“Kerja ya kerja, sayang,” ujar Nurjana ngemong, “tapi jangan kelewat serius. Putar kaset kek. Dengar radio kek. Nyanyi kek. Apa kek. Serus banget sih. Memangnya kerja paksa?”

“Itulah penyakit melayu,” ujar si tante iyaiyanya. “Ndak punya etos kerja. Maunya dipecut dulu baru kerja keras. Bekas jajahan sih. Doyan nonton India lagi. Senang nyanyi. Sedih nyanyi. Kerja juga maunya sambil nyanyi. Gimana mau maju?”

“Maju ya maju, Non. Tapi jangan kelewat serius. Kelewat serius lama-lama bisa stress. Belum-belum sudah stress gimana mau maju?”

Leni cuek. Nurjana memutus. “Sudah. Istirahat dulu. Makan. Sudah siang ini. Ndak usah ngoyo. Namanya juga usaha rumahan. Segitulah ukurannya.”

Karena sudah keroncongan, Leni tak banyak bacot mengekori Nurjana ke dapur. Lalu, sambil sibuk menyiapkan hidangan, tuan rumah menanyakan apakah tadi ada tamu.

“Baru mau cerita,” jawab Leni iyaiyanya. “Cowok kemaren itu, Kak. Kenapa? Kak Jana ketemu?”

“Ya ketemu. Orang mereka nyusul ke kuburan, kok,” ujar Nurjana.

Leni benar-benar dibuat kaget. Gadis itu sampai terperangah. “Ya ampuuun,” ujarnya tanpa sadar.

“Lain benar anak-anak sekarang ini,” sambung tuan rumah rada ngeri bercampur prihatin. “Yang namanya urusan cewek, sanggup nyusul sampai ke kuburan. Mau etis apa ndak, ndak ada urusan. Pokoknya tancap terus!”

Leni dibuat penasaran. Kepingin tahu apa yang terjadi setelah si “anak-anak sekarang” ketemu Kak Jananya di kuburan. Jangan-jangan ikutan Yasinan. “Trus Kak ….?”

“Ya urusan kemaren itulah,” jelas Nurjana jauh dari tendensi bangga. “Bedanya, sekarang ini, sudah pakai amplop. Katanya, isinya cek seratus juta. Cukup empat kali naik haji. Kubilang terima kasih. Tanpa pemberian apa-apa aku sudah tahu kalau Edison ada perhatian. Eeee maksa. Jaman susah begini siapa yang mau ngasih seratus juta? Jangankanseratus juta, mau bakso semangkok pun mesti buka-bukaan dulu!”

Leni terpaku. Bukan karena buka-bukaan dan bakso semangkoknya, tapi karena cek Rp 100 juta itu. Sepertinya, apa yang barusan dia dengar tak pernah terlintas dalam benaknya. Seratus juta! Bayangkan! Saking hebohnya!

Lain Leni lain Nurjana. Sejak semua yang membuat matanya mau meloncat justru buka-bukaan dan bakso semangkok itu. “Cobalah,” tuturnya kesal. “Bagus benar bahasanya. Untung sudah puluhan tahun latihan sabar. Kalau ndak runyam jadinya.” (Bersambung)

³³³

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun