Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (2)

19 Agustus 2011   01:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan pula ditanya keluhan pembaca awam. “Katanya bacaan rakyat jelata, isinya pejabat melulu. Tiap terbit penuh ucapan selamat. Koran apa koran kau ini Edi!” keluh teman-temannya.

Sebenarnya kebijakan isi sudah dia gariskan. Sebagai bacaan rakyat jelata, Edison harus menyajikan hiburan, harapan dan sedikit pengetahuan. Itulah yang mereka butuhkan, bukan berita sok menegakkan kebenaran. Berita korupsi boleh saja dimuat, sepanjang sudah menjadi perkara di pengadilan. Bukan sekadar dugaan.

Maka berita-berita ringan dan jenaka, kriminal, olahraga, entertainment, legenda, kisah misteri, ekonomi rakyat, serta kode buntut dan berita orang kena togel, haruslah menjadi sajian utama Edison setiap edisi.

“Seperti berita penyuluh KB diseruduk sapi yang dimuat koran Cahaya Pagi itu,” katanya memberi contoh. “Itu kan lucu. Bila perlu, biar jenaka, ending beritanya dipelintir: menurut keterangan peternak, sapi main seruduk karena dipaksa ikut KB. Semua orang senang membacanya, tidak peduli babu atau pejabat. Berita-berita seperti itu yang harus kalian perbanyak.”

Ini penting, jelasnya, agar Edison dibaca orang. Oplah meningkat, modal berputar, untung dapat. Syukur-syukur order iklan berdatangan. Barulah haluan diputar sedikit demi sedikit. “Jangan macam koran lokal kebanyakan,” ujarnya pula. “Modal cekak, SDM ndak bermutu, pasar sempit, sok mau menegakkan kebenaran. Belum-belum sudah mau menghantam orang. Siapa yang mau beli?”

Dasar wartawannya preman semua, kebijakan isi itu mereka premani. Alhasil, Edison setali tiga uang dengan koran lokal kebanyakan. Dan itu juga berarti, modal kian hari kian menipis sementara pemasukan iklan tak jelas rimbanya.

Merespon saran berbagai pihak, dia melakukan pembenahan. Pemred dia ganti. Reporter dia tambah. Biro baru dia bentuk. Hasilnya: pelahan tapi pasti Edison berubah menjadi koran partisan salah satu partai politik. Konflik merebak, awaknya terbelah menjadi dua kubu: kubu partisan dan kubu profesional. Konfik kian hari kian meruncing, diwarnai intrik untuk saling menjatuhkan. Puncaknya, ketika kedua kubu baku hantam di kantor redaksi. Kantor kocar-kacir, sejumlah peralatan rusak, dan Edison yang seharusnya menulis berita justru menjadi berita: “Buntut Konflik Kepentingan,” tulis Cahaya Pagi, “Wartawan Edison Baku Hantam”.

Edi pun merasa sudah saatnya dia bertindak. Edison dia tutup, aset yang tersisa dia lego dengan harga rongsokan. Sejak itu dia cuek terhadap yang namanya wartawan, apalagi wartawan muntaber alias muncul tanpa berita.

Tapi hari-hari itu suhu politik sedang memanas. Seorang kader parpol datang menemuinya membawa proposal turnamen voli antar klub atas nama partai. Pelaksanaan dijadwalkan satu bulan penuh, yang bakal membuka direncanakan walikota alias Pak Wako, dana yang dibutuhkan Rp 100 juta. Dana itu belum termasuk anggaran hiburan gratis yang akan digelar pada malam penutupan dan pembagian hadiah, yang akan menampilkan artis ibukota.

Di atas kertas event itu dimaksudkan untuk mengisi kegiatan peringatan HUT RI. Tapi Edi tidak bodoh. Dengan mengibarkan bendera partai, jelas mau kemana proposal itu. Pemilu sudah dekat, citra partai yang sudah dirusak kader mereka sendiri di dewan perlu diperbaiki dengan kampanye terselubung.

Maka, setelah dia endapkan sehari untuk dia copy, proposal itu langsung dia tolak. Bukan karena dia tak suka partainya, tapi karena di partai itu bercokol anggota dewan pengganti antar waktu — setelah pimpinan cabang mendepak pesaingnya dengan dalih melanggar disiplin partai. Untuk urusan depak-mendepak dan penggantian antar waktu itu, koceknya bobol Rp 35 juta. Kompensasi yang dia harapkan sederhana saja, tidak ada hubungannya dengan politik: setelah dilantik Yunita, sang anggota dewan, segera ijab kobul dengannya.

Nyatanya, setelah dilantik, mantan penyanyi dangdut berparas aduhai itu menghindar. Tiap hari tiap jam bawaannya sibuk melulu. Setiap kali didesak selalu mengulur waktu. Mentang-mentang sudah jadi anggota dewan, pulang pergi semaunya. Ditegur baik-baik malah menuduh gila cemburu. Belakangan beredar gosip dia selingkuh dengan cowok kece, mahasiswa PTS setempat.

Mulanya dia bersabar. Tapi kesabarannya habis ketika mahasiswa PTS yang sama, setelah mematok tarif Rp 1 juta, menyerahkan selembar foto. Di foto itu Ita Mustika, demikian nama komersilnya, berfose mesra dengan si cowok kece. Dan itu di kolam renang, dengan tubuh hanya dibalut bikini.

Edi pun murka. Melesat ke kantor DPRD, Ita dia labrak. “Kembalikan hartaku, lonte!” radangnya sambil menjambak baju perempuan itu. Dan itu terjadi di ruang rapat, saat Ita sedang mengikuti rapat intern fraksi untuk merumuskan pandangan umum terhadap RAPBD yang diajukan eksekutif.

Heboh tak bisa dibendung lagi. Wartawan, yang setiap hari hilir mudik di kantor DPRD, mendapat berita hangat. Besoknya Propost, harian lokal paling bergengsi, terbit dengan berita panas: “Merasa Dikhianati Edison Ngamuk di Kantor DPRD”.

Merasa dipermalukan, Ita balik meradang. “Kehormatan saya selaku anggota dewan diinjak-injak. Saya sedang melaksanakan tugas negara, tiba-tiba dianiaya dan dicaci-maki dengan kata-kata kotor. Demi Tuhan, akan saya tuntut dia secara hukum!” pekiknya sebagaimana dikutip Propost.

Dia pun membantah punya hubungan intim dengan Edi. “Jangan lupa,” katanya, “sebelum terjun ke politik saya ini penyanyi. Sebagai penyanyi wajar kalau saya punya banyak penggemar. Lha apa iya saya mesti bermuka masam sama penggemar? Enggak etis kan?”

Soal yang bersangkutan beranggapan lain, katanya, itu urusan yang bersangkutan. “Mestinya yang bersangkutan ngaca! Jangan jelek-jelek, bopeng-bopeng, enggak tahu diri! Enak aja ngaku-ngaku pacar! Dia pikir dia itu siapa?” cercanya sengit.

Demikian pula soal rumah dan mobil yang diributkan Edi. “Surat mobil ada di rumah, sertifikat tanah sama IMB saya gadaikan ke bank. Silahkan dicek, atas nama siapa,” tantangnya.

Soal dana politik yang diungkapkan Edi, dia tak mau banyak komentar. “Silahkan tanya Pak Mustafa. Biar jelas benar apa nggak,” katanya. Dan Mustafa, ketua DPC partai, yang juga wakil ketua dewan, dikenal dekat dengan Edi dan dibuat kalang kabutketika bandar togel itu ngamuk, saat dikonfirmasi menjawab dengan bertanya, “Buktinya mana?”

Terbit di bawah naungan kelompok penerbit rak­sa­­sa di Jakarta, sejak awal Propost memosisikan diri sebagai institusi pers yang profesional. Bila mereka melengkapi berita dengan dokumen bukti, maksud me­­reka bukan mau berpihak, tapi justru untuk memenuhi kaidah berita yang objektif dan berimbang.

Selain copy surat mobil, berita itu mereka lengkapi pula dengan copy sertifikat tanah dan IMB yang mereka peroleh dari bank terkait. Semua atas nama Yunita, bukan atas nama Edison. “Menurut Yunita,” tulis harian itu, “rumah dan mobil dia beli dari royalty penjualan album kompilasinya yang meledak di pasaran.”

Berhadapan dengan fakta-fakta itu, barulah Edi sadar kalau selama ini dia terlalu polos. Dana segar untuk tanah, rumah, mobil, dan juga money politic, dia kucurkan begitu saja tanpa sedikit pun upaya antisipasi. Dasarnya hanya prasangka baik: Ita tidak akan mengkhianatinya. Kini Mustika mengingkarinya, disertai cercaan melukai hati: “Jelek-jelek enggak tahu diri!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun