Mohon tunggu...
Pauzan Haryono
Pauzan Haryono Mohon Tunggu... Dosen - -

"Manusia biasa yang berusaha untuk jujur pada diri sendiri"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peradaban Mulia Dimulai dari Literasi (Iqro')

6 Desember 2024   10:56 Diperbarui: 6 Desember 2024   11:33 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Zaman ketika Nabi Muhammad SAW dilahirkan disebut dengan zaman 'Jahiliyah' yang berarti zaman 'kebodohan'. Disebut sebagai zaman jahiliyah dikarenakan pada masa itu kerusakan moral masyarakat Makkah dan perilaku bodoh yang sama sekali jauh dari sifat terdidik. Masyarakat saat itu bodoh dalam segala aspek, mereka bodoh secara spritual, bodoh secara intelektual dan bodoh juga secara moral.

Kebodohan secara spiritual masayarakat Makkah saat itu bisa dilihat dari cara mereka beribadah ke pada tuhannya. Mereka menyembah patung hasil karya tangan sendiri. Patung dibuat dari bahan yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan strata sosial mereka. Kalangan masyarakat kaya dan terhormat membuat patung dari emas dan perak. Kalangan masyarakat menengah membuat patung dari perunggu atau kayu. Kalangan masyarakat miskin membuat dari adonan tepung atau bahan makanan.  Patung dibentuk sedemikian rupa, lalu ditempatkan di posisi yang khusus, kemudian disembah seolah-olah mereka adalah hamba dari patung yang mereka buat dengan tangan sendiri itu.

Kebodohan secara intelektual dapat dilihat dari cara mereka memutuskan perkara-perkara sosial-ekonomi. Secara sosial-ekonomi masyarakat Makkah saat itu memberlakukan hukum rimba, yang kuat itu yang menang. Penindasan yang kuat terhadap yang lemah  adalah lazim dalam masyarakat. Peperangan antar suku dalam memperebutkan sumber daya ekonomi sering terjadi dan dijadikan cara bertahan hidup. Masyarakat tidak mengenal adu gagasan dalam memutuskan sesuatu. Mereka tidak terbiasa tukar pikiran dalam menyelesaikan masalah. Kepintaran sesorang diukur dari panjangnya bait sair yang dihapal, bukan dari kontribusi gagasan atau pemikiran yang mencerahkan peradaban.

Kebodohan secara moral dapat dilihat dari masyarakat Mekkah saat itu dalam memperlakukan perempuan dan kaum lemah. Kelahiran anak perempuan dianggap aib. Orang-orang lemah dijadikan budak. Perempuan dan budak sangat lazim mengalami penindasan saat itu. Ada suatu kisah contoh perilaku jahiliah secara moral yang dilakukan oleh Umar bin Khatab jauh sebelum beliau masuk Islam. Umar bin Khatab merupakan jawara dan tokoh terhormat di kalangan masyarakat Mekkah saat itu. Suatu hari istrinya melahirkan seorang anak perempuan. Betapa malunya Umar bin Khatab, karena seorang jawara dan tokoh mempunyai anak perempuan. Untuk menutupi aib dan rasa malu ini, Umar bin Khatab membawa bayi perempuannya ke padang pasir yang sepi, kemudian dia gali dan dikuburkanlah bayi perempuannya hidup-hidup.

Dalam kondisi masyarakat seperti di ataslah, nabi Muhammad SAW dilahirkan, tumbuh dan berkembang. Nabi muhammad SAW sejak remaja dan menjelang dewasa banyak bertafakur dan berefleksi diri melihat kerusakan masyarakatnya. Beliau banyak mengambil jarak dengan kehidupan masyarakat saat itu dengan mengasingkan diri ke gua Hira. Tepat ketika berumur 40 tahun, sang Nabi menerima wahyu pertama yang menjadi solusi dari kegelisahannya selama ini. Wahyu tersebut adalah Al-Qur'an surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5 yang artinya:

  • Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
  • Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah
  • Bacalah, dan Tuhamnu Yang Maha Mulia
  • Yang mengajar manusia dengan pena (tulisan)
  • Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Kalau ditelaah secara mendalam ayat tersebut adalah perintah membaca. Tiga ayat pertama memerintahkan bagaimana cara seharusnya membaca. Ayat pertama adalah perintah membaca dengan pembacaan spiritual. Artinya, artinya pembacaan keterhubungan kita dengan sang khalik, Allah SWT. Keterhubungan secara trnsendental kepada Allah mulai dari pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan selalu terhubung dengan Allah maka pikiran akan bersih dari nafsu jahat, lisan kita akan terjaga dari perkataan kotor dan tidak pantas, perbuatan kita juga akan terpelihara dari tindakan yang jahat dan merusak.

Ayat kedua dari surat Al-Alaq merupakan perintah membaca secara intelektual, yaitu pembacaan dengan cara berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Ayat ini menyuruh kita membaca proses penciptaan kita, bagaimana Allah SWT menciptakan manusia berawal satu sel sederhana hasil pertemuan sperma dan ovum. Dari satu sel itu berkembang menjadi ratusan miliar sel yang yang memiliki kesempurnaan fungsi dan keseimbangan metabolisme yang luar biasa. Betapa dahsyat dan mengagumkan proses penciptaan manusia, dari satu sel sederhana menjadi bagain-bagian tubuh yang sangat sempurna dan seimbang. Pembacaan seperti ini akan membuat kita intelek/cerdas mulai dari pikiran, lisan dan perbuatan. Pembacaan inteletual akan membuat pikiran kita dipenuhi gagasan yang besar dan jernih, lisan kita akan mempertajam wacana dan wawasan, dan perbuatan kita akan selalu terarah dalam kebaikan dan menjauhi kesia-siaan.

Ayat ketiga surat ini adalah perintah agar membaca secara moral. Allah SWT memerintahkan membaca dengan memuliakan sifat-sifatnya. Memuliakan sifat Allah berarti kita mengejahwantahkan sifat-sifat mulia Allah SWT (asmaul husna) dalam kehidupan sesuai dengan kadar kemanusiaan kita. Pembacaan moral akan menghasilkan akhlak yang mulia (akhlakul karimah) dalam pikiran, lisan dan perbuatan. Pikiran yang berahlak akan menghindarkan kita dari nafsu ankara, lisan yang berakhlak akan menjauhkan kita dari perkataan kotor dan menyakitkan, dan tindakan yang berahlak akan menghindarkan kita dari perbuatan yang merugikan dan merusak kehidupan.

Tiga ayat pertama Al-Qur'an surat Al-Alaq mendorong kita membaca dengan pembacaan spiritual, intelektual dan moral. Pembacaan seperti ini akan melahirkan generasi-generasi yang berintegritas, baik secara spiritual, intelektual dan moral. Insan-insan yang berintegritas secara spiritual, intelektual dan moral akan melahirkan peradaban yang diwarnai dengan cahaya pengetahuan, kebaikan dan kemuliaan.

Sementara ayat keempat dan kelima merupakan perintah untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan yang diperoloeh dari pembacaan spiritual, intelektual dan moral melalui tulisan. Dengan menulis, ilmu pengetahuan akan tersebar dan pesan-pesan kebaikan tidak akan berhenti. Membaca dan menulis merupakan siklus yang tidak boleh putus agar kita senantiasa dapat menularkan kebaikan dan mewariskan kemuliaan pikiran, perkataan dan tindakan kepada generasi-generasi selanjutnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun