Menarik perhatian saya langkah yang akan ditempuh PDI-P yang sedang mempertimbangkan untuk menguji Pasal 156a KUHP. Pasal tersebut telah menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke tahanan melaui suatu putusan pengadilan yang sangat konyol. Pasal 156a tersebut memang sangat menyesakkan, demikian juga Putusan Pengadilan Jakarta Utara yang benar-benar di luar akal sehat, tetapi mau tak mau harus dihormati itu.
Pasal 156a tersebut sudah 2 kali dimajukan untuk diuji di MK dan dua-duanya kandas (Lihat Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, bertanggal 19 April 2010 dan PUTUSAN MK Nomor 84/PUU-X/2012 tertanggal 19 September 2013. Walau sudah dua kali diuji, tidak tertutup kemungkinan untuk menguji kembali ketentuan tersebut. UU MK dan Putusan MK memungkinkan pengujian ulang dengan dasar yang berbeda. Hanya saja, dalam Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 tersebut MK sudah menyampaikan sikap MK yang enggan mengusik UU tersebut. Dalam pertimbangannya MK menyatakan:
Paragraf [3.13]Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya Mahkamah beranggapan UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan walaupun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna, karena apabila UU Pencegahan Penodaan Agama dicabut sebelum adanya peraturan baru lainnya sebagaimana ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, maka dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 156a KUHP dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah tidak beralasan menurut hukum;
Pemohon dalam perkara tersebut tidak menyediakan alternative-alternatif untuk dipilih Mahkamah dalam menyikapi Pasal 156a KUHP tersebut. Biasanya MK rajin membuat rumusan-rumusan baru bagi norma dalam UU, dengan selimut “Konstitusional Bersyarat” (Conditionally Constitutional). Namun dalam perkara itu MK tidak melakukannya.
Sebagaimana sikap MK tersebut mengalir, Pembuat UU harus membuat Norma baru untuk menggantikan norma dalam Pasal 156a. Selama Pembuat UU belum membuat ketentuan baru, kekejaman Pasal 156a akan terus bergelayut dan masih akan terus meminta korban. MK cuci tangan dalam soal yang pelik ini.
Saya pikir langkah yang perlu ditempuh PDI-P tidak lagi ke MK tetapi mempersiapkan suatu RUU untuk mengubah Pasal 156a KUHP tersebut. Dimana perlu, mengingat PDI-P termasuk the ruling party dan mengingat lamanya penyusunan suatu UU, dapat mempersiapkan PERPU untuk perubahan Pasal 156a KUHP tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H