Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertanyakan Sistem Partai Politik Indonesia

19 April 2016   12:43 Diperbarui: 19 April 2016   13:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sistem politik Indonesia, kita mengenal yang namanya lembaga legislatif. Lembaga legislatif ini disebut-sebut berfungsi mewakili aspirasi rakyat. Anggota DPR maupun DPRD kita dipilih oleh anggota partai yang diusung oleh partai politik dalam pileg. Namun, saat kita melihat sistem legislatif di Indonesia, kita patut bertanya-tanya: sebenarnya lembaga legislatif ini mewakili suara rakyat atau suara partai?

Kita semua tahu bahwa dalam sistem politik Indonesia, partai politik berhak memberikan sanksi kepada kadernya apabila tidak taat kepada perintah partai. Misalnya, baru-baru ini saat Hanura menyatakan mendukung Ahok dalam pilkada, Hanura memecat beberapa kadernya yang dengan tegas menolak mendukung Ahok. Begitu juga dalam sidang-sidang DPR maupun DPRD. Dalam menyikapi suatu isu yang akan diselesaikan dengan cara voting di sidang paripurna, biasanya partai sudah memerintahkan para kadernya untuk bersama-sama memperjuangkan opsi yang ini atau itu. Misalnya sewaktu isu UU pilkada tidak langsung setahun yang lalu. PDIP dkk memerintahkan semua kadernya untuk memperjuangkan pilkada langsung, sedangkan Gerindra dkk memerintahkan semua kadernya untuk memperjuangkan pilkada tidak langsung. Jika ada kader yang melawan perintah partai, partai berhak menjatuhkan sanksi, atau bahkan mencopot keanggotaan kader tersebut dari DPR atau DPRD, serta menggantinya dengan kader partai yang lain.

Karena itu, patut dipertanyakan: sebenarnya para kader partai di legislatif ini, mereka memperjuangkan suara rakyat atau suara partai? Kenapa partai memiliki otoritas sampai sejauh itu terhadap para kadernya yang duduk di legislatif padahal mereka itu dipilih oleh rakyat (dalam pileg), bukan oleh partai?

Bahkan pertanyaan yang lebih tajam lagi adalah: mereka itu mewakili suara rakyat atau mewakili suara KETUA UMUM partai?

Kita tahu bahwa di dalam partai politik, ketua umum memiliki kewenangan yang nyaris mutlak, bagaikan Tuhan. Tidak bisa dilawan bahkan oleh sekjen ataupun wakil ketua umum. Contoh paling nyata, pada pilpres yang lalu, PPP mendukung Prabowo karena ketua umumnya saat itu, Suryadharma Ali, mendukung Prabowo. Padahal saat itu wakil ketua umumnya, Suharso Monoarfa, dan juga Sekjennya, Romuharmuzy, inginnya mendukung Jokowi. Seperti itulah strategisnya posisi ketua umum, sampai-sampai dalam berbagai usaha islah PPP dan Golkar selama ini, beberapa kali muncul jargon yang agak lucu: "kami bersedia islah, kami bersedia berikan berbagai posisi strategis kepada pihak seberang, asalkan kami dapat posisi ketua umum". Lucu! Itu mah namanya bukan islah. Itu bukan win-win solution, tapi win-lose solution.

Suara ketua umum begitu mutlak dalam partai. Jika kader melawan, walaupun kader yang berpangkat sekjen atau wakil ketua umum sekalipun, ia bisa dipecat. Dan ketua umum inilah yang seringkali mengeluarkan perintah kepada kader-kader di DPR atau DPRD dalam berbagai isu. Para kadernya harus taat jika tidak mau disanksi. 

Hal inilah salah satu faktor penyebab banyak rakyat merasa tidak diwakili oleh DPR atau DPRD. Karena itulah kita patut bersyukur setahun lalu UU Pilkada tidak langsung akhirnya batal. Jika sampai UU tersebut diterapkan, maka para kepala daerah se-indonesia akan dipilih oleh DPRD; atau lebih tepatnya, dipilih oleh para ketua umum partai. Karena para ketua umum itulah yang berkuasa atas kader-kadernya di DPRD.

Karena itu, kembali lagi pada judul artikel ini: kita harus mempertanyakan sistem politik di Indonesia. Sistem di Indonesia dengan jelas mengisyaratkan bahwa DPR dan DPRD itu lebih tepat disebut dewan perwakilan partai, atau lebih keras lagi: dewan perwakilan ketua umum partai. Seandainya di DPR atau DPRD ada orang-orang baik yang tulus ingin mewakili aspirasi rakyat, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa saat diperintah partai. Kalaupun ngotot melawan partai, mereka akan dipecat dari partai dan direshuffle keanggotaannya di legislatif. Jadi tidak peduli sebaik dan setulus apa si kader, kalau ketua umum partainya jahat, maka sia-sia saja perjuangan si kader.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun