Mencermati perkembangan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, BPK, dan Bareskrim selama beberapa bulan dan beberapa tahun belakangan ini membuat saya memperoleh kesimpulan seperti pada judul artikel ini. Kenapa demikian? Biar saya jelaskan.
Dimulai dari kasus korupsi UPS Jakarta yang mulai ditangani oleh Bareskrim sejak setahun lalu. Bareskrim yang saat itu dipimpin KOmjen BUdi Waseso dengan cepat merespon laporan dan menetapkan 2 tersangka yaitu Alex Usman dan Zaenal Soleman, keduanya dari pihak PNS DKI. Rakyat pun memuji kinerja cepat Bareskrim. Kemudian rakyat, khususnya para pendukung Ahok, semakin bersorak saat muncul indikasi Lulung juga akan jadi tersangka.Â
Berulang kali Lulung dipanggil sebagai saksi, ditanyai hingga berjam-jam oleh Bareskrim, dan kemudian dalam sebuah wawancara, BUdi Waseso mengatakan "saksi-saksi sebut nama Lulung". Saya ingat persis, waktu muncul berita itu, langsung para pendukung AHok bersorak-sorai dan membully Lulung di kolom komentar. Nyatanya, hingga Alex Usman dan Zaenal Soleman naik ke persidangan, tiada anggota DPRD DKI yang menjadi tersangka.
Kemudian terjadi pergantian kepala Bareskrim. Posisi Buwas digantikan Komjen Anang Iskandar. Tidak lama setelah pergantian, Bareskrim akhirnya menetapkan tersangka dari pihak DPRD DKI, yaitu Muhammad Firmansyah dan Fahmi Zulfikar. Sekali lagi, para pendukung Ahok bersorak-sorai. Muncul harapan untuk melihat terjadinya aksi bersih-bersih mafia DPRD DKI. Namun nyatanya, saat ini, kasus itu tenggelam. Tiada terdengar lagi kabar perkembangan kasus tersebut. Terakhir kali Kompas.com memberitakan perkembangan kasus tersebut adalah 11 maret 2016, yaitu 2 bulan lalu. Tidak ada lagi penetapan tersangka baru. Bahkan 2 tersangka terakhir itu hingga kini belum ditahan atau dinaikkan ke persidangan.
Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Bahwa sebenarnya penegak hukum pun punya kepentingan dengan pencitraan, mencari simpati publik, sama seperti politisi. Saya yakin para petinggi Bareskrim itu pasti senang dan menikmati pujian-pujian yang mereka terima dari rakyat saat mereka "mengobok-obok" Lulung seolah hendak segera menjadikannya tersangka. Namun pada akhirnya, tiada tindakan tegas. Kasus tersebut menguap begitu saja seiring waktu.
Kedua, BPK. Seperti yang kita ketahui BPK mengalami "badai" besar belakangan ini. Dimulai dari perlawanan AHok yang menuduh BPK tendensius, kemudian laporan ICW tentang pelanggaran etik yang dilakukan kepala BPK DKI Efdinal, kemudian munculnya nama ketua BPK Harry Azhar Azis di Panama Papers. Rakyat pun makin kehilangan simpati pada BPK, terlebih ketika muncul ekspos terhadap kinerja BPK selama ini; para pimpinan dan anggota yang tidak pernah lapor LHKPN, ketahuannya daerah-daerah yang kepala daerahnya terjerat korupsi padahal mendaat status audit Wajar tanpa pengecualian dari BPK, dsb.Â
Apa yang dilakukan BPK kemudian? Tepat kemarin, BPK melaporkan adanya kerugian negara 900 miliar dari kunker fiktif anggota DPR. Sebagian rakyat pun memuji BPK, sebagian lagi tetap skeptis pada BPK. Well, memang bagus kalau BPK bisa melaporkan temuan seperti itu, namun kenapa baru sekarang? Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau sejak dari zaman bahula DPR memang selalu seperti itu? Lantas kenapa pula selama ini DPR justru selalu mendapat status audit Wajar tanpa pengecualian dari BPK?
Yah, tentu saja jawabannya jelas. BPK ingin cari simpati publik. Ingin memulihkan reputasi mereka yang selama ini dipandang negatif.
Ketiga, KPK. Tahun lalu, pimpinan KPK yang baru dilantik. Waktu itu, banyak rakyat yang kecewa pada pimpinan KPK yang baru ini, banyak yang meragukan. Banyak yang kecewa kenapa mereka yang sudah terbukti reputasinya seperti Johan BUdi dan Busyro malah tidak terpilih. Rakyat pun pesimis pada KPK. Namun, para pimpinan baru ini sepertinya sukses menjawab keraguan tersebut. Mereka melakukan 4 operasi tangkap tangan hanya dalam kurun waktu beberapa bulan. Saya pun juga awalnya sempat kagum. Namun, perkembangan terbaru belakangan ini membuat saya kecewa dan berkesimpulan: pimpinan baru KPK ini cuma jago operasi tangkap tangan saja!
Kenapa saya katakan demikian? Lihat saja perkembangan kasus reklamasi DKI. Sudah 1,5 bulan sejak OTT tersebut terjadi,KPK sudah berulang kali memeriksa para saksi hingga belasan jam, namun hingga kini tak ada tersangka baru. Anak kecil pun pasti sudah bisa lihat kalau tidak mungkin Sanusi cuma bermain sendirian dalam kasus ini.Â
Bahkan dalam berita terbaru kemarin, pimpinan KPK Agus Rahardjo mengatakan bahwa sejauh ini belum ada kemungkinan muncul tersangka baru. Anda bisa baca beritanya di sini. https://news.detik.com/berita/3209112/kpk-dapat-banyak-temuan-baru-terkait-kasus-suap-raperda-reklamasi