Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kesan Setelah Menonton Film "Sepatu Dahlan"

17 April 2014   17:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada 3 hari lalu, senin siang, saya menonton film "Sepatu Dahlan". Saya tertarik menonton film ini (meskipun saya tidak membaca bukunya) karena saya banyak mendengar tentang kehebatan Dahlan Iskan yang berjuang mulai dari nol; dari miskin dan tidak punya apa-apa, sampai menjadi orang kaya yang hebat dan menjabat menteri BUMN. Saya berharap dari film ini bisa belajar banyak dari Dahlan tentang arti kerja keras dan kegigihan.

Namun setelah saya menonton film ini, hanya 1 kata yang bisa saya ucapkan: mengecewakan!

Biar saya jelaskan. Film ini berkisah tentang kehidupan masa kecil Dahlan, mulai dari ia selalu pulang-pergi sekolah tanpa alas kaki sampai kakinya lecet, hingga akhirnya di akhir film ia memperoleh sepatu untuk dirinya  dan memenangi pertandingan voli dengan sepatu tersebut.

Di awal film, tampaknya film ini cukup bagus. Menceritakan tentang semangat Dahlan yang tetap pulang-pergi sekolah, tidak mau merepotkan orang tuanya, dan belajar sebaik mungkin di sekolah. Teman-temannya yang lain bisa memakai sepatu ke sekolah, dan sebagian lagi bisa naik sepeda ke sekolah sehingga tidak perlu berlelah-lelah, sementara Dahlan harus berlelah-lelah jalan kaki ke sekolah tanpa sepatu. Sepulang sekolah, Dahlan harus bekerja keras membantu orangtuanya memberi makan kambing-kambing mereka. Makanan sehari-hari Dahlan juga sangat sederhana. Saya jadi kagum pada kepribadian Dahlan di sini.

Namun bagian-bagian selanjutnya justru mengecewakan. Berbeda dari apa yang saya bayangkan, ternyata pada akhirnya Dahlan bisa mendapatkan sepatu bukan dari hasil usaha dan kerja kerasnya, melainkan karena ia beruntung para guru dan temannya di sekolah berbaik hati, patungan membelikan sepatu untuk Dahlan. Tadinya saya mengira saya akan melihat seorang Dahlan kecil yang berjuang keras memperoleh sepatu sendiri tanpa merepotkan orang tuanya, bekerja mencari uang, dsb. Wah kalau ternyata akhirnya sepatu Dahlan yang menjadi tema utama film ini diraih melalui pemberian cuma-cuma orang lain dan bukan dari hasil kerja keras Dahlan, apa hebatnya? Saya rasa banyak film-film lain yang jauh lebih berbobot, menceritakan bagaimana kerja keras seorang anak sampai bisa membiayai sekolah sendiri, membeli sepatu dan sepeda sendiri, dsb melalui kerja keras berjualan koran, mengamen atau semacamnya.

Ending dari film ini adalah Dahlan mengikuti sebuah pertandingan voli sekolahnya melawan sekolah rival, dan tim Dahlan berhasil memenangi pertandingan tersebut. Film ditutup dengan adegan Dahlan berjalan pulang bersama ayah dan adiknya, sementara sosok ibu Dahlan yang sudah meninggal seakan-akan muncul melihat Dahlan dengan bangga. Ini pun mengakibatkan saya kecewa, karena tadinya saya kira saya akan melihat bagaimana usaha keras Dahlan untuk keluar dari kemiskinan, meniti jalan perlahan-lahan menuju kesuksesan dan menjadi patriot bangsa. Namun ternyata seluruh isi film ini hanya menceritakan kisah masa SD-nya saja. Tidak ada keberhasilan usaha Dahlan yang terlihat di film ini selain dari 1 kali memenangi pertandingan voli antar sekolah di akhir film tersebut. Waduh, yang menjadi klimaks dari film Dahlan si pekerja keras ini ternyata cuma pertandingan voli saja....

Di sepanjang film ini pun, Dahlan justru kadang-kadang terlihat buruk. Pada suatu adegan, seorang temannya memaksanya mencoba mengendarai sepeda, dan akibatnya Dahlan terjatuh dari sepeda dan merusakkan sepeda mahal temannya tersebut. Imbas dari kejadian tersebut, ayah Dahlan harus merelakan kambing-kambing yang menjadi satu-satunya harta keluarga, diambil oleh keluarga teman Dahlan itu, sebagai ganti sepeda yang dirusak oleh Dahlan. Kontras dengan kejadian tersebut, dari sejak awal hingga akhir film ini, tidak ada 1 kalipun kejadian Dahlan mendapatkan uang dengan usahanya sendiri. Memang ada 1 adegan ia mencoba melamar pekerjaan di ayah temannya, namun ditolak mentah-mentah.

Kesan utama terhadap tokoh Dahlan di film ini justru adalah: seorang miskin yang berusaha gigih, namun tidak bisa memperoleh apa-apa selain dari bantuan cuma-cuma orang lain. Selain ia mendapatkan sepatu dari hasil patungan teman-temannya, ia juga beberapa kali mendapatkan makanan dari guru-guru sekolahnya. Jangan salah, makanan itu diberikan oleh para guru tsb karena mereka kasihan melihat Dahlan kelaparan, bukan karena Dahlan telah membantu guru tersebut atau karena guru tersebut kagum pada kecerdasan Dahlan. Saat Dahlan harus mengganti sepeda teman yang ia rusakkan pun, ayahnyalah yang menggantinya dengan kambing miliknya, bukan Dahlan sendiri.

Sungguh mengecewakan. Bagi yang belum menonton film ini, saya sarankan sebaiknya tidak usah menonton film ini. Lebih baik menonton film yang lain saja. :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun