Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Berdialog/Berdiskusi Secara Akademis

27 Desember 2013   19:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah kesempatan, seorang teman saya yang pernah belajar di Prancis menceritakan pengalamannya. "Suatu kali di kelas, saya dengan tegas mengatakan pada guru saya, 'pelajaran ini membosankan, saya tidak menyukainya!'. Namun guru saya bukannya marah, justru bertanya pada saya, 'menurutmu, bagaimana caranya supaya pelajaran ini menjadi tidak membosankan?'. Coba kalau di Indonesia saya bilang begitu, mungkin oleh guru saya sudah diskors".

Beberapa tahun setelahnya, saat saya mengikuti mata kuliah agama di universitas saya, dosen saya memulai dengan mengatakan, "di kelas ini, kita akan belajar berdialog secara logis dan akademis. Kita cari kebenaran bersama-sama. Saya tahu di sini ada yang Islam, ada yang Kristen, dan ada yang Buddha. Kita di sini akan diskusikan setiap agama. Kita analisis, kita kritisi, kita perdebatkan. Tidak masalah jika ada di antara kalian yang tidak setuju dengan suatu agama, menurutnya agama itu  salah, silahkan sampaikan saja beserta alasan/argumennya secara logis, nanti kita akan diskusikan bersama-sama. TIdak perlu ada yang marah atau tersinggung, karena kita cari kebenaran bersama-sama. Jika misalnya anda mau bilang "menurut saya Kristen itu salah, Yesus itu penyesat", silahkan saja sampaikan, asalkan disertai argumen yang logis, lalu kita akan diskusikan bersama-sama, tidak perlu ada yang marah atau emosi. Itulah dialog yang akademis".

Selama 1 semester menjalani mata kuliah agama itu, mata kuliah tersebut begitu berkesan bagi saya. Saya mengingat dengan jelas di mana di kelas tersebut terjadi banyak sekali diskusi maupun perdebatan yang sangat bagus dan berkualitas. Kami bisa sama-sama berpikir kritis dan berdebat secara akademis, bukan debat kusir. Sekalipun muncul banyak sekali perbedaan di antara kami, namun kami justru senang dengan itu, karena itu menambah ilmu dan pemahaman kami. Sama sekali berbeda dengan budaya di luar kelas tersebut, budaya di Indonesia ini, di mana saat kita mengatakan sedikit saja ketidaksetujuan terhadap suatu agama, langsung dianggap menghina, dianggap SARA, dimarahi dan sebagainya, tidak peduli betapapun logisnya alasan/argumen yang kami berikan.  Begitu berkesannya mata kuliah tersebut, sampai-sampai banyak mahasiswa kelas tersebut (termasuk saya) yang mengajak teman-teman untuk memilih kelas dosen tersebut jika mengambil mata kuliah agama pada semester depannya.

Ketika berbincang-bincang dengan dosen tersebut di suatu kesempatan, bapak dosen itu mengatakan pada saya bahwa cara dialog akademis seperti itu beliau pelajari saat mengambil kuliah S2 di Amerika. Beliau menceritakan bahwa di Amerika budayanya jauh berbeda dibanding Indonesia; kita boleh mengatakan hal yang tabu sekalipun asalkan disertai alasan yang logis. Di Amerika, orang-orang begitu mengagungkan logika.

Semakin saya belajar tentang budaya Amerika, semakin saya menemukan bahwa hal itu memang benar. Saya menyaksikan berbagai acara debat terbuka di Amerika via Youtube. Di Amerika, memperdebatkan agama merupakan suatu hal yang sangat biasa. Tidak ada yang menganggapnya tabu, asalkan perdebatan tersebut dilakukan secara akademis; memberikan argumen maupun bukti yang logis dan masuk akal, bukan sekedar menghina-hina dan memancing emosi lawan.  Mereka tahu bahwa mereka sedang mencari kebenaran bersama-sama. Ada banyak acara debat terbuka di Amerika yang dilakukan secara akademis; baik itu perdebatan mengenai agama, mengenai teori evolusi, mengenai isu-isu tertentu saat ini (misalnya, tentang krisis di Suriah dan Mesir, tentang homoseksual, dan sebagainya). Di setiap debat tersebut, para narasumber selalu memberikan argumen-argumennya secara logis, secara signifikan, secara akademis. Mereka dengan tegas menyerang argumen lawannya, namun tidak menghina atau merendahkan lawannya. Bahkan di setiap debat yang saya tonton, tidak ada nuansa emosional ataupun permusuhan; mereka bahkan bisa tersenyum dan berjabat tangan seusai debat akademis tersebut.

Saya yakin itulah salah 1 penyebab Amerika bisa berkembang menjadi negara maju seperti sekarang. Saya yakin kita perlu belajar banyak dari budaya Amerika tersebut: berdialog secara akademis. Saya mengalami banyak sekali pengalaman di mana orang-orang Indonesia hanya sekedar menggunakan argumen-argumen emosional, bukan rasional, dalam berdebat atau berdialog. Saat saya menulis artikel di kompasiana yang isinya mengkritik aksi mogok dokter, saya paparkan dengan sangat komprehensif argumen-argumen saya; namun para dokter bukannya menjawab argumen-argumen logis tersebut, melainkan menghina-hina saya, menuduh saya anti-dokter, dan sebagainya. Meskipun saya ajak mendiskusikannya secara sehat, mereka tidak mau, malah terus beremosi menuduh saya bermacam-macam. Hal itu juga terjadi saat saya menulis artikel yang isinya mengkritik aksi demo menolak penyelenggaraan Miss World. Saya paparkan secara logis argumen-argumen saya, namun yang saya dapati dari para pihak kontra Miss World justru hinaan ataupun argumen-argumen yang sama sekali tidak akademis seperti "soalnya kamu Kristen sih, jadi gak aneh kalau kamu mendukung Miss World". Dan juga masih banyak kejadian lainnya semacam itu; antara lain saat saya menulis artikel menentang himbauan Mendagri untuk bekerjasama dengan FPI, saat saya menulis artikel menyarankan Jokowi untuk menyelesaikan tugasnya membereskan Jakarta dulu selama masa 5 tahun, dan masih banyak lainnya.

Dalam berdialog secara akademis, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu: seranglah argumennya, bukan serang orangnya (si pemberi argumen). Ada perbedaan besar antara mengatakan, "itu argumen yang bodoh" dengan mengatakan "anda ini bodoh".  Dalam perdebatan yang akademis, yang menjadi sasaran tembak adalah argumen-argumennya, bukan orangnya. Bahkan ada seorang dosen yang mengatakan pada saya, "pendebat yang menyerang orang (bukan menyerang argumen) biasanya melakukan itu (menyerang orang) karena tidak bisa lagi membantah/menyerang argumen lawannya". Namun dalam banyak perdebatan di artikel saya, yang saya dapati justru lebih banyak orang yang menyerang saya (orang), bukan menyerang argumen saya.

Kita perlu ingat bahwa kita hidup di negara yang banyak perbedaan, banyak keragaman. Berbeda agama, berbeda suku, berbeda golongan, berbeda status, dan terutama: berbeda pendapat. Jika sedikit saja mengutarakan pendapat yang berbeda atau memperdebatkan perbedaan pendapat itu langsung dianggap menghina, maka negara ini tidak akan pernah maju. Saat kita berani mencari kebenaran bersama-sama, memperdebatkan secara sehat, saat itulah kita menjadi pribadi yang semakin maju, dan secara tidak langsung kita juga semakin memajukan bangsa ini. Percayalah, ada kepuasan yang akan anda rasakan saat kita berani memperdebatkan secara sehat dan akademis pendapat-pendapat yang berbeda itu, terlepas dari hasil akhir perdebatan itu (apakah mencapai titik temu atau tidak). Saya sudah merasakan sendiri hal itu di akhir mata kuliah agama di kampus saya. Saat kita tidak lagi berusaha memendam perbedaan pendapat itu ke bawah permukaan air; sebaliknya, berani mengangkatnya keluar dari permukaan air, mengangkat perbedaan pendapat itu dan memperdebatkannya, anda akan menjadi orang yang lebih cerdas dan lebih maju.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun