Saat ini UU pilkada tidak langsung sudah disahkan oleh DPR. Saya termasuk orang yang sangat sedih dengan disahkannya UU tersebut. Rakyat banyak yang sangat marah oleh kejadian ini. Namun persoalannya, apa benar ini salah para politikus semata? Saya yakin rakyat juga bersalah. Memangnya siapa yang memilih para orang-orang jahat pendukung pilkada tidak langsung tsb untuk duduk di DPR? Rakyat kan? Rakyat tidak mau memilih caleg yang benar-benar bersih kelakuannya. Saat pileg mereka justru senang jika terjadi acara bagi-bagi uang, bukan menentangnya. LIhat saja anggota-anggota DPRD DKI 2014-2019 ini. Caleg seperti lulung yang sudah jelas-jelas orang kotor pendukung preman tanah abang malah bisa terpilih lagi. Sementara para orang-orang kepercayaan AHok yang ikut nyaleg justru gagal terpilih.
Dari semua ini bisa disimpulkan: revolusi mental harus segera dilakukan! Bagaimana caranya? Cara terbaik tentu saja melalui pendidikan. Ide Jokowi bahwa kurikulum SD harus didominasi oleh pelajaran budi pekerti itu sungguh tepat. Selama ini anak-anak semenjak kecil sudah dididik dengan materi-materi matematika atau IPA yang berat-berat, dengan alasan supaya mereka menjadi SDM yang cerdas. Kalau ditanya, untuk apa menjadi orang yang cerdas? Mereka akan jawab, untuk menjadi sukses dan mendapat banyak uang. Tak heran bangsa ini menjadi bangsa yang korup. APalagi filsafat-filsafat kuno yang mengandung begitu banyak nilai-nilai budi pekerti yang indah dan mulia seperti filsafat konghucu atau kisah mahabaratha sudah tidak diajarkan lagi. Berapa banyak generasi zaman sekarang yang suka menonton kisah wayang? Para generasi tua pasti tahu betapa banyak nilai budi pekerti dalam kisah-kisah wayang tersebut. Revolusi mental ini sudah tentu butuh waktu yang sangat lama untuk bisa membentuk mental bangsa pemenang. Kita lihat saja dalam 5 tahun ke depan, sejauh mana Jokowi bisa mengerjakan revolusi mental ini.