Seorang wanita uzur terhenti di ambang pantai. Menatap laut lepas sambil mendekap rindu. Berbicara pada sunyi dengan bibir terkunci rapat, meski telah berkali-kali dicobanya untuk melambungkan risau hatinya pada ombak, pada semilir angin. Juga pada langit pekat yang menjadi saksi bisu kepergian kekasih hatinya.
Wanita uzur mencoba mengejar bayang-bayang pahlawannya. Buah cintanya yang ditelan samudera.  Namun, kesedihan malah menyumbat  relung  dadanya untuk melambungkan sepotong doa. Dapatkah camar di atas sana menggantikan pedih di hatinya?Â
Dengan sejengkal tenaga tersisa, wanita itu mencoba menegakkan asa yang sejak kemarin pulas dalam hembusan maut. Meletakkan bayang-bayang pahlawan hatinya di pelupuk hati. Sepotong doa yang tersumbat duka pun meleset keluar membelai sepi:
"Tuhan peluklah ia dalam kerahiman-Mu."
Wanita uzur membentangkan dada dalam tarikan napas yang panjang. Membiarkan dukanya bergulir di atas gulungan ombak. Sembari berbisik,Â
"titip rindu untuk pahlawanku di laut lepas".
Jakarta, 2804021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H