Seorang perempuan mengayun-ayunkan angannya dalam sepi. Bergumam pada angin malam dengan bibir bergetar kencang. Membiarkan bara api membakar dadanya, hingga akhirnya memantul, lalu menyoroti lukisan wajahnya pada menara kota.
"Kapankah hati-hati lapang yang kokoh tertancap bumi lumat dalam mulutku; kaki-kaki baja tercabut meninggalkan  lobang, sehingga kata-kata manisku meluncur lalu menggumpal sesak di dalamnya?"
Perempuan itu melangkah tegap berbaur dalam keramaian siang. Ia berlari menggenggam asa yang semakin membengkak. Meloncat-loncat di atap-atap gedung bertingkat. Melayang-layang di atas kota sambil melambungkan pujian maya pada segenap mata, pada segenap telinga, danÂ
pada segenap bibir yang tengah berlomba dalam kebajikan.Â
Sore kembali mengurai gelap. Keramaian memintal sepi. Segenap dada membusung pada asa yang kelewat gagah. Tak tergoyahkan. Bagai tarian lama yang selalu menguntit dalam gelap. Tersumbat pada pangkal cahaya yang menyuburkan nurani. Kata-katanya berbalut minyak wangi terpental lalu menguap bersama debu jalanan.
Perempuan itu kembali menuai sepi. Berayun-ayun dalam gulita. Ia menatap langitnya yang tak bertepi sambil mengejar bayang meski langkahnya hari ini terbentur pelak pada bingkai-bingkai hati. Â Angannya menekan dan semakin menekan dadanya. Kan tiba waktunya, segenap lutut bersimpuh lunglai kehilangan rasa. Lidah-lidah bergerak tanpa nalar ketat tersimpul. Menyorakkan yel-yel dalam satu irama. Melambungkan kebesarannya hingga mengaga lebar menembus jagat raya.
"Kegembiraan yang bakal menimbun kebodohanmu sendiri". Gumamnya.
Jakarta, 2704021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H