Kutinggalkan jejak pilu di pelataranmu senja ini,
Sambil kukenangkanaroma keabadianmu yang berabad-abad menyerburkan kesejukan dan kedamaian; menyuburkan nafas kehidupan sekitarmu: saudara tanah, saudara hewan, dan saudara manusia tanpa kenal lelah seperti lapangnya hati Sang Adamu.
Kuangkat jempol setinggi ubunmu. Kuukir keabadianmu dalam~dalam, kutancapkan keibuanmu ke dahi bahwa kehidupanmu adalah jantung kehidupan; bahwa hijaumu adalah paru-paru bagi saudara-saudaramu.
Kekagumanku semakin menggila ketika mataku kubiarkan menyasar dari badan, punggung hingga rambutmu. Hijaumu membentang membaluti tubuhmu yang menjulang ke angkasa mengalirkan ketenangan di hati.Â
Pohon-pohon tinggi tanpa rasa iri tegak menembus cakrawala bagai induk elang membentangkan sayap menaungi anak-anaknya tampak tersenyum bahagia. Segalanya menyambut mengalunkan lagu damai dalam nafas persaudaraan.
Sayang,
Keabadianmu kini ternoda. Kakimu yang dulu tambun dan hijau kokoh menapak nancap kini menyisahkan kecemasan karena tangan-tangan tanpa belas kasih.
Keindahan yang purna mulai pucat di tangan penjelajah waktu. Jari-jari kakimu yang dulu memancarkan keteduhan tampak kurus sehingga tulangmu menganga lebar, menyeringai mencengkeram bumi.Â
Kekhawatiranku kini kian mengembang menyaksikan saudara petani semakin merangkak merambah kakimu.
Kengerian pun menjalar ke sela-sela dadaku membayangkan kala kesabaranmu tersumbat lalu memuntahkan lumpur dan bebatuan tanpa kenal ampun.