Sajak-Sajak Paul Ama Tukan
Demokritik
Hari ini, hujan rintik sepanjang hari.
Hujan bulan ini, menyimpan suatu rahasia di sudut kepalaku
Bulir-bulir hujan itu tempias melukis pelangi di pelataran mataku dengan tinta paling garang.
Ia mengerti sangat sedikit tentang air mata yang tabah berderai di jalanan kota
Ia tidak tahu seberapa cepat lajur ingatan yang ditumpahkan hanya pada buku dan gedung-gedung kampus.
Mengerti saja terasa susah apalagi membuatkan sebait kata-kata untuk dihadiahkan kepada kebenaran yang tidak ada tuannya.
"Aku sangat paham dengan keadaanmu sekarang, ketika kau hanya terlanjur menjahit asamu dengan sejenis kepasrahan yang paling sulit mengalah. Aku sangat mengerti tatkala perih jadi kisah dalam kerumunan manusia yang menamakan diri mereka pejuang ingatan. Sebab sangat sulit  menatang kisah yang lama telah diraih namun singkat dicemari."
Hujan bulan ini pun berderai, menumpahkan sakit kepala paling kepalang.
Bulir-bulirnya tempias di pelataran mataku. Aku menadah hujan itu sambil mengaca dengan saksama pada beningnya. Kulihat segerombolan besar pendemo membawa kayu dan batu, melempar mataku lalu meludahiku dengan keji seolah-olah aku orang asing di negri sendiri.
Seketika ingatanku tumpah berserak di jalanan, remuk dan tidak kutemukan lagi wajahnya seperti apa. Tak ada satupun yang membantu, kecuali hujan bulan ini. Ia membawaku pada sebuah ruang tunggu. Di sana orang bergegas antri untuk bersolek tentang luka yang sedang mereka derita.
Hujan bulan ini, terima kasih. Hujan bulan ini, kasihmu kuterima. Walaupun tidak sedikit orang yang menerima mengapa kau kunamakan hujan bulan ini. Terlampau lama orang berkelahi tanpa tahu bagaimana berkaca pada sejarah yang telah lama menunggu. Yang telah memberi teduh bagi panas amarah hari ini.
Hujan bulan ini;"Air mata yang tumpah dari mereka yang sedang berkaca pada sejarah".
Esok ia akan pergi dengan bahan bakar air mata.
Ledalero, 2019
Di Taman Kota
Orang membawa keanehannya dan memamerkannya di tengah kota.
Di situ hidup segerombol orang sinting yang bermain sendiri dengan bayangan tubuhnya.
Meliuk ke arah dunia yang tak dikenal orang lain. Tertawa, tidak mengerti dan malu, demikian seterusnya.
Orang-orang yang datang ini telah menanggalkan alas kaki mereka dan hidup secara leluasa di dunia baru. Kini, kita tak melihat lagi orang bercengkrama atau menenun kata dengan kepala dingin.
Sebab kota telah menjadi candu bagi siapa saja yang tak mengerti siapa dirinya.
Ledalero, 2019
zinah