MEMAHAMI ANALISIS SOSIAL
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT
Berhasil dan tidaknya pembangunan di suatu negara, sangat tergantung dari relasi kuasa antara 3 (tiga) aktor utama yang ada di dalamnya, yakni: Negara (pemerintah dalam arti seluas-luasnya), Pemilik Modal (pihak swasta/pengusaha) dan Rakyat. Dalam hal pertemuan ketiga kekuatan ini, pengalaman di Indonesia (sejak merdeka sampai sekarang) menunjukan bahwa penumpukan kekuatan/kekuasaan hanya pada negara dan pemilik modal, sedangkan rakyat yang nota bene adalah pemilik kedaulatan di negeri ini, senantiasa didaulat/dikondisikan untuk tidak berdaulat.
Buruknya relasi kuasa antara aktor utama dalam pembangunan menuju kesejahteraan bersama di Indonesia, dapat dibuktikan dengan melihat berbagai kebijakan maupun peraturan perundang-undangan (sekaligus dengan implementasinya) sehubungan dengan prioritas dalam pelayanan pembangunan, pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan, penguasaan lahan, penguasaan laut, pemanfaatan dan pengelolaan hasil tambang yang mana rakyat selalu termarginalkan dan hanya menjadi korban dari kolusi dan kompromi antara kedua aktor (negara dan modal) tersebut.
Realitas buruk kehidupan bernegara di Indonesia ini, sebenarnya merupakan penggenapan atas nubuat dari “Nabinya Kaum Proletar”, yakni Karl Marx. Dalam kerangka berpikir Marxian, Negara diartikan sebagai alat yang digunakan oleh kelas sosial yang berkuasa untuk menindas kelas yang di subordinasikan (dikuasai). Kaum Marxis juga dalam tradisinya senantiasa memahami hubungan antara negara dengan masyarakat sebagai hubungan sosial dalam produksi (Social Relation of Production) yang selalu mengakibatkan terjadinya pertentangan kelas, yakni antara kelas yang menguasai alat-alat produksi (Mean of Production) yang dominan dan kelas yang tidak menguasai alat produksi yang tersubordinasikan dan terdominasi. Negara menjadi alat bagi kelas dominan untuk melakukan eksploitasi (penghisapan, pemerasan) terhadap kelas bawah.
Bertolak dari paradigma yang demikian, maka pembaharuan menuju perubahan kehidupan bernegara di Indonesia yang lebih baik adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi dan untuk itu pada "Era Transisi Demokrasi" sekarang ini diperlukan suatu gerakan perubahan agar dapat merubah kondisi ini. Gerakan perubahan ini idealnya harus dilakukan secara terencana, sistemik dan mengarahkan tindakan pada sasaran-sasaran tertentu. Dalam rangka membangun suatu Gerakan perubahan yang ampuh, maka salah satu syarat yang paling penting dilakukan adalah melakukan pemetaan partisipatif atau Analisis Sosial (Ansos) bersama rakyat.
Ansos adalah suatu upaya untuk memperoleh gambaran secara lengkap mengenai suatu situasi sosial yang ada di dalam masyarakat pada wilayah tertentu, dengan cara menelaah kaitan-kaitan fenomena historis, sosial, politik dan struktural yang ada di dalam masyarakat tersebut. Dengan pemahaman seperti ini, maka pelaksanaan ansos otomatis harus difokuskan pada uraian fakta yang terjadi di masyarakat, yang meliputi suatu peristiwa, subyek (pelaku-pelaku), obyek (keadaan lapangan), interaksi-konflik sosial (analisis kawan-lawan), analisis konflik horisontal, analisis resiko, dan membongkar dokumen (study dokumen).
Tujuan pelaksanaan ansos pada dasarnya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat berkaitan dengan masalah-masalah dasar atau pokok yang terjadi di wilayah/lingkungannya, maupun potensi masalah yang mungkin akan terjadi di wilayah/lingkungannya, sekaligus dengan cara pemecahannya. Itu berarti, manfaat yang bisa diperoleh masyarakat dari pelaksanaan ansos adalah Pertama, masyarakat dapat memahami secara mendalam berbagai persoalan yang terjadi di wilayahnya. Kedua, Masyarakat dapat mengetahui dan memahami posisi maupun peran dari masing-masing kelompok yang ada di komunitas atau lingkungan sekitarnya. Ketiga, Masyarakat dapat mengetahui dan memahami secara kritis Sistem yang ada di komunitas atau lingkungan sekitarnya. Keempat, Masyarakat dapat Merumuskan startegi pemecahan masalah sesuai kebutuhannya sendiri.
Pada akhirnya, jika ansos dilakukan bersama kaum tertindas dan atau kelompok yang termarjinalkan, maka kultur lokal disuatu wilayah tidak boleh diabaikan. Selain itu, sejumlah prinsip dasar seperti: keberpihakan, partisipatif, kesetaraan, keadilan gender, anti diskriminasi, transparan dan akuntabel harus dipegang teguh oleh Tim pelaksana. Baca & Lawan….!!!
KETERANGAN:
1. Penulis adalah Aktivis PIAR NTT