PERANG MELAWAN TRAFFICKING
Oleh: Paul SinlaEloE
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia (Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Fenomena ini oleh banyak pihak dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri. Padahal perbudakan modern ini banyak juga terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya di  Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) begitu subur dan menjamur. Media massa lokal setiap harinya selalu menyuguhkan berbagai kasus (dugaan) TPPO yang terjadi hampir di semua wilayah Kab/Kota di NTT. Keseluruhan kasus TPPO yang dipublikasi ini, menggambarkan betapa gampangnya anak NTT yang miskin, tidak bisa baca tulis, diperdagangkan di depan mata dari mereka yang oleh konstitusi diberi tanggungjawab untuk mensejahterakan rakyat. Bahakan, TPPO di NTT sering terjadi di pelupuk mata mata dari para petinggi agama yang selalu berpikir tentang surga, padahal belum tetntu mereka lolos dari ujian duniawi.
Data pendampingan/advokasi dari Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT) dalam 3 tahun terakhir menunjukan bahwa pada tahun 2013, PIAR NTT beserta jaringannya melakukan advokasi terhadap 4 kasus TPPO dengan jumlah korban sebanyak 127 orang. Di tahun 2014, PIAR NTT melakukan advokasi 6 kasus TPPO dengan korban sebanyak 216 orang dan pada tahun 2015, ada 3 kasus TPPO yang advokasi oleh PIAR NTT dengan korban berjumlah 21 orang.
Merajalelanya kasus TPPO di NTT, dipertegas dengan data Polda NTT yang mana di tahun 2015, telah menangani 27 kasus trafficking, dengan jumlah tersangka 31 orang dan jumlah korban 238 orang. Dari total 27 kasus trafficking yang ditangani Polda NTT, 9 kasus diantanya telah lengkap penyidikannya (P-21), sedangkan 4 kasus lainnya masih dilengkapi petunjuk jaksa (P-19), 11 kasus dalam tahap penyidikan, dan 3 kasus dalam penyelidikan.
Menurut Sarah Lery Mboeik (2012), maraknya kasus TPPO di NTT di sebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: Pembangunan yang memiskinkan, hak rakyat atas pekerjaan yang terabaikan, politik gender yang timpang, rakyat pekerja yang tidak berdaulat atas pangan, masyarakat sipil yang belum fokus pada rakyat pekerja, lemahnya proses penegakan hukum, pelayanan publik yang korup dan sistem ketenagakerjaan yang korup.
Bertolak dari realita TPPO di NTT yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila dalam kunjungan kerjanya ke NTT pada Desember 2015, Presiden Jokowi memberikan pesan khusus kepada Kepala Kapolda NTT, Brigjen Pol. Endang Sunjaya untuk memberantas kasus TPPO di NTT. Pesan khusus itu disampaikan langsung Presiden kepada Kapolda NTT di Bandara El Tari Kupang, Senin (28/12/2015).
Secara substansi, pesan dari Presiden Jokowi pada dasarnya mengajak seluruh komponen serta instansi terkait maupun rakyat NTT untuk melakukan perang terhadap trafficking dan Kapolda NTT diharapkan untuk menjadi panglimanya. Karenanya, Kapolda NTT, Brigjen Pol. Drs. Eustachius Widyo Sunaryo yang pada tanggal 11 Januari 2016 telah dilantik untuk menggantikan Brigjen Pol. Endang Sunjaya, harus menindaklanjuti pesan dari Presden Jokowi tersebut.
Dalam melakukan perang terhadap perang terhadap trafficking, pembenahan internal (manajamen, SDM dan pendekatan dalam penanganan kasus) pada institusi kepolisian di NTT dalam konteks penegakan hukum kasus TPPO merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Hal ini menjadi penting  karena belajar dari pengalaman, pihak Polda NTT dalam DIPAnya Ditreskrimum Polda NTT tahun anggaran 2015, hanya menargetkan penanganan 2 kasus trafficking.