Mohon tunggu...
Paulo Rosario De Ornay
Paulo Rosario De Ornay Mohon Tunggu... -

masih harus optimis dengan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

konstitusinya Indonesia

8 Januari 2012   05:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia telah merdeka selama66 tahun dan sedang menuju ke-67 tahun. Berbicara mengenai kemerdekaan, ada tiga topik yang layak dibicarakan, seperti kata seorang tokoh. Pertama, proses memperoleh kemerdekaan. Kedua, usaha mempertahankan kemerdekaan. Dan ketiga, usaha mengisi kemerdekaan. Topik kedua dan ketiga (usaha mempertahankan dan mengisi kemerdekaan) sudah seharusnya menjadi indikator apakah Indonesia sebagai sebuah bangsa semakin maju, mandek, atau malah mundur. Soekarno pernah berkata, bahwa kemerdekaan adalah “jembatan emas” menuju kemakmuran. Apakah “jembatan emas” itu telah kita lalui? Atau, apakah “jembatan emas” itu malah ambruk dengan kita berada di atasnya?
Kondisi dewasa ini adalah kondisi kritis bangsa Indonesia. Pertumpahan darah terjadi antara rakyat dengan aparatur negara. Demikian halnya dengan pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama dan kepercayaan. Konflik-konflik horisontal semacam itu adalah dua contoh yang mengindikasikan bahwa Indonesia sedang dalam kondisi kritis, disamping kasus-kasus korupsi yang melanda Ibu Pertiwi.Bisa jadi, kita sedang berusaha menyelamatkan diri dari hampir ambruknya “jembatan emas” tersebut.
Konstitusi
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Kalimat itu adalah kalimat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tetapi kalimat tersebut seakan menjadi kalimat utopis jika kita melihat realitas sosial yang terjadi pada saat ini. Konstitusi yang sejatinya adalah sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional, malah digunakan segelintir orang yang memiliki kepentingan masing-masing. Parahnya, segelintir orang tersebut membuat suatu hierarki mafia, yang sering kita dengar dengan istilah “mafia hukum”. Tidak hanya mafia hukum yang muncul di permukaan, tetapi juga ada “mafia pajak”, yang salah satu “aktor” terkenalnya adalah Gayus Tambunan, seorang terpidana. Konstitusi diutak-atik demi kepentingan segelintir orang. Konstitusi yang seharusnya berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, hanyalah ucapan utopis belaka. Kenyataannya adalah hukum runcing ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Banyak kasus korupsi di Indonesia yang membuktikan ungkapan tersebut. Kasus Bank Century misalnya. Suatu acara diskusi intelektual di salah stasiun televisi swasta pernah mengundang anggota klub atau perkumpulan pengacara se-Jakarta, serta pihak ekonom-ekonom handal dan menteri terkait kasus tersebut. Seorang tamu undangan, Anggito Abimanyu, mantan menteri yang terkait kasus bank Century dengan gamblang membeberkan adanya sesuatu yang salah terkait dengan kasus tersebut. Demikian juga dengan kasus korupsi wisma atlet yang membuat nama M. Nazaruddin menjadi naik daun. Pengakuan tim kuasa hukum Nazaruddin (Hotman Paris dkk) menjabarkan proses persidangan Nazaruddin pada saat pengadilan. Masih di stasiun televisi yang sama, Hotman berkata bahwa jaksa penuntut mengajukan pertanyaan yang tidak penting, dan seakan-akan lari dari permasalahan utama, serta mengindikasikan adanya perlindungan bagi orang-orang “di atas” dan rekan korupsi Nazaaruddin, seperti Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh. Kebetulan Nazaruddin, Anas dan Angelina berada dalam satu partai besar yang sedang berkuasa saat ini, Partai Demokrat, sehingga muncul kecurigaan publik bahwa ada perlindungan terhadap penguasa partai tersebut. Setali tiga uang dengan kasus korupsi yang menimpa Nunun Nurbaetie. Kasus tersebut seakan-akan tidak akan pernah tuntas, karena seperti ada yang dilindungi “di atas” sana. Terjadi keanehan dalam kasus ini. Nunun sempat didiagnosis dokter bahwa ia menderita penyakit lupa ingatan jangka pendek (demensia). Tetapi pada saat tersangka perkara dugaan penyuapan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 dengan memakai cek perjalanan ini, mampu menjawab secara detail pertanyaan yang diajukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketidakadilan hukum juga menimpa seorang remaja berinisial AAL, di Palu, yang mencuri sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Jaksa penuntut menuntut remaja tersebut untuk dihukum penjara 5 tahun. Sedangkan, kasus seorang aparatur negara yang (tak sengaja) melindas seorang anak pada awal 1990an tidak ditindaklanjuti karena kasus tersebut dianggap kadaluarsa. Pertanyaannya adalah apakah hukum mengenal kata kadaluarsa? Ternyata di Indonesia jawabannya YA. Artinya, apabila ada orang yang melakukan tindakan melanggar hukum, lalu dengan cerdik menutup-nutupi kasus tersebut sampai batas kadaluarsa kasus (15 tahun), maka orang tersebut tak akan diproses hukum. Sungguh sebuah kenyataan yang aneh, sekaligus kenyataan yang sangat pahit bagi ayah dari korban tindakan aparatur negara tersebut.
Pasal 33 UUD 1945 kiranya sudah jelas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam di Indonesia diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi kenyataan sekarang adalah bahwa kekayaan kita dieksploitasi oleh bangsa lain! Kita tidak tahu pasti apa yang bandit asing itu bawa dari wilayah territorial, dari “lumbung emas” kita. Rakyat Indonesia kelaparan dalam kondisi miskin, merana, mengais rejeki di jalan-jalan raya dengan hanya meminta-minta dan berusaha bernyanyi mengalahkan deru mobil dan motor di jalan-jalan Ibukota. Sudah jelas kita telah dijajah kembali. Penjajahan yang tak kasat mata, yang dilakukan oleh invisible hand atau tangan tak terlihat. Tetapi ironisnya seakan para penguasa negeri ini hanya terdiam melihat kondisi itu. Berpangku tangan. Atau ikut bertepuk tangan melihat bangsa ini berada di ambang kehancuran.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun