Saat membuka HL di Kompas.com enggan membacanya karena tidak akan jauh dari pola pembelaan diri yang begitu-begitu saja. Eh tiba-tiba ada pesan dari rekan grup kalau ada yang “miris” oleh ketua MPR ini. Jadinya, baca seluruh berita itu, dan jauh lebih kaget, ternyata lebih menyedihkan lagi melihat isinya.
Apakah benar konstruksi logika yang hendak dibangun Pak Ketua MPR dan sekaligus PAN ini soal aliran dana yang dinyatakan dalam persidangan korupsi yang mengalir ke sang besan dan sekaligus sesepuh partainya.
Karena kaya tidak mungkin korupsi.
Apakah benar demikian? Pak Zul mengatakan Sutrisno kaya tidak akan mungkin menerima uang dari fadilah yang miskin. Fakta menunjukkan sebaliknya. Mana ada tersangka, terpidana, ataupun yang ngantri maling itu miskin? Coba bisa dicek di Sukamiskin, Guntur, Cipinang, dan juga tahanan KPK ataupun di daerah. Mereka rata-rata kaya dan lebih dari cukup. Kalau miskin itu paling maling susu di mini market, maling sandal di mesjid, atau nyolong jemuran di sisi jalan. Pembelaan yang tidak masuk akal.
Fadilah kalau saya lihat miskin.
Ini sebenarnya mau menunjukkan kelas Pak Sutrisno yang sangat kaya, tidak mungkin menerima uang dari Fadilan yang levelnya di bawahnya. Sepakat soal ini, tapi jika menteri saja di mata Pak Ketua MPR miskin, apalagi level rakyat seperti saya ini, sama sekali tidak ada dalam bayangan Pak Ketua MPR kog bisa hidup. Pemilihan bahasa yang sangat terlalu, atau pembahasan wartawan? Saya lebih percaya memang penilaian ketua MPR yang sangat buruk.
Maling berdasi itu bukan karena miskin, namun tamak dan rakus.
Pejabat di Indonesia, apalagi akhir-akhir ini sama sekali tidak ada yag kurang. Gaji, tunjangan, fasilitas lengkap dan melimpah. Namun mengapa selalu kurang? Tidak ada rasa syukur dan merasa selalu kurang. Grangsang dan tamak. Tidak ada kog orang kecil itu yang maling dalam arti korupsi, karena memang tidak ada kesempatan. Mengatakan gaji kurang, kurang apanya coba? Toh masih juga mencari-cari celah untuk bisa dimaling dan dipakai untuk kepentingan diri sendiri.
Alangkah bijak jika Ketua MPR setuju dengan Revolusi mental mengatakan, kita ikuti proses hukumnya, kalau memang Pak Amien salah biar pengadilan dan hakim yang menentukan, bukan kita. Ini namanya negarawan yang tidak membuat simpulan dulu. Dengan pernyataan ini paling tidak ada tiga lembaga yang bisa dikatakan ngawur. KPK, kejaksaan yang mengirim jaksa untuk KPK, kepolisian yang mengirim penyelidik dan penyidik hingga BAP ada di pengadilan. Jika yang mengatakan itu orang biasa, obrolan warung kopi atau di angkringan sega kucing,tidak masalah. kalau tidak ngawur, KPK dalam hal ini jaksa mengada-ada dan mengarang bebas untuk menuliskan adanya transfer dari A ke B. Apa serendah itu peradilan kita?
Maling berdasi belum menjadi musuh bersama, malah saling lindungi.
Kemarin ada anggota dewan yang dijadikan tersangka karena diduga menyuap tersangka lain untuk diam atau bahasa lainnya tidak nyakotdia. Artinya fenomena ini bisa terjadi, satu orang masuk, yang penting lainnya aman. Soal materi, keluarga bisa diatur. Kalau mau saling terbuka dan mau baik negeri ini harus tuntas, bukan memfasilitasi keadaan jauh lebih buruk.