Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yogya Istimewa, Yogya yang Perlu Kembali ke Jati Diri

30 April 2015   09:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yogya Istimewa, Jogya yang Perlu Kembali ke Jati Diri

Yogyakarta istimewa tidak bisa disangkal lagi. Sejarah membuktikan, bahwa sebagai kerajaan yang bisa berdaulat sendiri, menyatakan untuk menjadi bagian utuh NKRI, sehingga Pulau Jawa tidak bolong.  Universitas ternama ada di sini. Mulai yang benar-benar ternama atau hanya punya nama ada. Komplit seperti gedegnya yang  melegenda mengenai perguruan tinggi dan sekolah di kota indah ini.

Baru saja ada kejadihan yang sangat menyayat hati. Ada seorang mahasiswi yang meninggal  dengan bayinya di kostnya dan baru ketahuan  setelah sekian hari. Saya tidak hendak mengulas mengenai almarhumah ini. Namun banyak hal yang perlu direnungkan mengenai fenomena kos di kota-kota besar, salah satunya Jogyakarta.

1.Kos-an makin bebas tanpa batas

Apa yang ditanya anak calon penghuni kost bukan lagi fasilitas, namun bebas gak, ada wifi gak. Bebas dalam arti bisa membawa lawan jenis ke dalam kamar, bukan hanya di runag tunggu/ruang tama, kadang tidak ada malah. Bebas pulang pagi, bukan lagi pulang malam, bebas tanpa ada pemilik yang akan memegang sapu dan menggebuk sayang bagi penghuninya.

Tahun 2000-an, banyak muda-mudi memanfaatkan warnet yang buka 24 jam. Waktu itu internet masih relatif mahal, warnet 24 jam menjaur bisa dipakai untuk “menginap” hemat, paling-paling menghabiskan sekian ribu, bandingkan dengan hotel dan motel. Pasti tidak akan ada teguran dari mana semalaman tidak pulang, ada pertanyaan begitu pasti esoknya pindah kos.

2.Budaya permisisf, tidak bertanggung jawab

Pengelola akhirnya melunak dengan apa yang terjadi, akhirnya tercipta budaya permisif, pura-pura tidak tahu. Apapun yang dilakukan, pengelola hanya datang untuk menerima bayaran, yang biasanya tidak srring karena sistem semester atau setahun, kalau tidak suka bisa dioper ke pihak lain, dan ironisnya pengurus apalagi pemilik bisa tidak tahu atau pura-pura tidak mau tahu. Membawa lawan jenis ke dalam kamar biasa sekali karena memang tidak ada pengawasan. Paling-paling ada petugas yang bersih-bersih daerah umum, pasti mereka tidak akan berani menegur, bertanya saja tidak akan berani. Pembiaran yang makin marak.

3.Konsumerisme dan materialisme

Persoalan bukan karena menolong lagi, sebagaimana tahun 80-an. Sekarang  sudah menjadi bisnis yang menggiurkan, apalagi pajak belum sepenuhnya berlaku. Pemodal membuat kamar seperti hotel ratusan, disewakan dalam jangka panjang, pengelolaan tidak dipikirkan. Uang yang bicara, ketika uang yang mengemuka, kebebasan sebagai balasan yang setimpal.

4.Soliterisme dalam budaya muda

Di kota kecil Salatiga saja, ada pengumuman tamu jangan main bel, sms/telpon dulu kalau mau bertamu. Alasannya agar tidak mengganggu yang tidak berkepentingan,untuk membukaakan pintu atau memanggilkan.  Dulu, mau makan saja saling panggil atau nitip, kadang nitip sambil ngutang. Hubungan  tercipta dan ada kehangatan, tidak heran ada persuadaraan hingga ke pemilik seperti orang tua sendiri. Makan malas keluar telpon dan ada yang mengantar tidak merepotkan teman.

5.Tidak bertanggung jawab sosial

Alasan privasi, tidak kenal namun hidup dalam atap yang samaa bisa terjadi. Apa bedanya dengan terminal atau hotel? Akrab dalam hp yang bisa ke mana-mana, sedang tetangga sebelah kamar yang temboknya sama meregang nyawa tidak tahu.

Budaya lama mengenal namanya ngenger, atau mondok, jauh lebih pas dan berguna. Orang dari mana-mana bergabung untuk menuntut ilmu, ada perasaan senasib sepenanggungan yang tercipta. Bukan menyalahkan kemajuan dan teknologi, namun perlu bijaksana dalam mengelola kemajuan. Kebebasan bertanggung jawab dan mengenal sesama bukan ketinggalan zaman dan mengurangi kebebasan dan justru memberikan kebebasan yang lebih bermakna.

Uang penting namun bukan segalanya, kemanusiaan memiliki makna yang tak bernilai dengan apapun.

Keprihatinan atas sikap abai dan manusia makin soliter dan acuh tak acuh dengan dunia sekitar.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun