Yakin, Indonesia akan Dikuasai Fundamentalis dan Radikalis?
Minggu lalu Gereja Katolik sedunia merayakan Minggu Palma, Minggu di mana merenungkan kisah sengsara Yesus yang disambut dengan gegap gempit bak raja, namun kemudian disiksa bahkan disalibkan. Salah satu yang khas dari hari ini adalah perayaan Misa dilakukan dengan perarakan, biasanya, sepanjang yang saya ingat Paroki Santo Paulus Miki Salatiga mengadakan dari kompleks sekolah Kanisius, tahun ini dari pelataran kompleks markas Korem Salatiga. Ketertiban umat dan agar tidak mengganggu ketertiban lalu lintas umum pagar betis dilakukan angggota Pramuka dengan memegang tongkat mereka mengawal agar tidak ada yang menerobos barisan dan antrian di dalam arak-arakan.
Yakin bisa dikuasai fundamentalis dan radikalis?
Ada dua versi sikap batin, antara yang optimis dan pesimis. Pertama kaum pesimis yang mendukung gerakan ini sekecil apapun akan dibesar-besarkan dan sejatinya mereka tahu hanya sekelompok kecil namun memanfaatkan media, momentum, dan apapun demi propaganda mereka. Kelompok ini sejatinya sangat kecil namun memiliki cara komunikasi provokatif, keras, dan masif. Kelemahan mereka adalah banyak kepentingan dan mau menang sendiri, sehingga malah melemahkan mereka sendiri. Perjuangan yang dilandasi egoisme, pemaksaan kehendak, merasa paling benar dan baik, akibatnya tentu banyak “musuh” dan meninggalkan kesan kurang simpatik.
Kedua, kelompok yang optimis. Kelompok yang yakin bahwa persaudaraan itu pasti penuh dengan perbedaan. Kita bisa lihat bagaimana di rumah saja sudah diwarnai dengan perbedaan. Minimal ada dua jenis kelamin. Di sinilah peran hidup bersama. Perbedaan itu ada dan fakta, memperbesar persamaan bukan malah mencari-cari perbedaan. Biasanya kelompok ini lebih banyak diam, tenang, dan tidak banyak propaganda. Gaungnya terasa namun tidak terdengar. Model ini sebenarnya sangat banyak di Indonesia, dan memang tidak segalak, sekeras, dan selugas fundamentalis, karena menjaga perasaan, persaudaraan, dan di atas perbedaan itu harus dikelola dengan baik.
Mengapa ada fundamentalis?
Apapun agamanya, dari manapun asalnya, apapun latar belakangnya, ada yang berjiwa funamentalis, menjadi persoalan adalah ketika sikap itu keluar bukan ke dalam diri sendiri. Akibatnya adalah pemaksaan kehendak, menilai yang lain salah dan buruk. Merasa paling benar dan paling tahu segalanya, berbeda adalah salah dan bahkan bisa dikatakan musuh. Penyebabnya bisa beraneka ragam, karena kurang pengetahuan, kurang pergaulan, kurang wawasan, sehingga merasa jauh lebih daripada lainya, sebuah film apik dengan judul “?” menyuguhkan kisah yang menginspirasi soal ini. ada perubahan cara pikir dan cara bertindak.
Tidak berani melihat keluar. Seperti orang yang mengelilingi pohon, yang nampak ya coklat kusam saja, padahal ada hijau, biru di dekat situ. Seperti katak dalam tempurung, merasa melompat sudah menyundul langit, padahal hanya setinggi kepalanya saja. Soal kepercayaan yang paling baik dan benar boleh dan bahkan harus, namun bukan berarti yang lain salah atau buruk. Toh yang lain juga memiliki klaim yang sama.
Penuh curiga dan prasangka. Hal ini karena komunikasi yang lemah, dangkal dalam melihat dan mencermati, dan kemudian mudah puas yang diterapkan pada yang lain. perilaku sendiri diukurkan pada pihak lain, padahal belum tentu.
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi perilaku demikian?
Memahami bahwa memang perlu waktu dan belajar yang tidak cepat. Kembali film “?” menyajikan hal ini. perkembangan itu perlu waktu dan proses, apa perjumpaan yang mengubah.