Tujuan Pendidikan Nasional, Ganti Menteri Ganti Kebijakan, dan Kualitas Pendidikan Kita
Segala sesuatu tentu ada tujuan, berjalan pun ada tujuannya, meskipun sekedar jalan-jalan. Persoalan klasik bangsa ini adalah pendidikan. Bagaimana dulu negeri jiran banyak yang mengirimkan calon gurunya, atau "meminjam" pengajar untuk mendidik calon guru mereka, eh kini mereka jauh lebih mumpuni, bahkan berani menawarkan universitas mereka ke sini. Ada yang salah? Iya, mengenai tujuan pendidikan nasional yang tidak pernah fokus.
Full Day School
Terbaru soal gonjang ganjing soal sekolah sepanjang jari. Belumm juga diterapkan sudah dianulir. Ini soal politik juga bermain.  Selain gagasan dan ide, masalah lain, adalah politikyang menjadi panglima. Asal bukan dari kelompokku pasti aku curigai atau pasti jelek dan salah. Sisi lain kajian belum  mendalam namun sudah langsung dinyatakan sebagai sebuah keputusan. Abai,jarang menggunakan pola pikir holistik di dalam mengambil keputusan.
K-13
Nuansa proyek dan nama gagah-gagahan soal pencitraan era lalu memang menjadi warna tersendiri bagi dunia pendidikan. Anak didik menjadi korban demikian juga guru. Lagi-lagi kurikulum yang hanya indah di kertas pada tataran implementasi juga sama saja. Bagaimana tidak, guru era 70-an juga masih menggunakan cara mereka mengajar dengan K-74, apalagi CBSA masih sangat kental dilakukan. Guru sebagai mediator dan fasilitator masih jauhdari harapan. KTSP belum ada evaluasi eh sudah mau diganti dengan yang baru. Evaluasi,baik atau buruk tidak pernah dibuat. Mana ada perubahan jika demikian.
UN
Indonesia ini jagad gede dengan gradasi yang luar biasa banyak. Bagaimana anak Jakarta disamaratakan dengan anak pedalaman, yang gurunya saja bisa seminggu tidak datang. Pedalaman bukan berarti luar Jawa dalam konteks ini, namun di Jawa yang jauh dari jangkauan. Â Ini soal ketersediaan guru, belum lagi fasilitas. Anak Jakarta dengan simbah google hal yang lumrah, di tempat lain, gurunya pun mencari tombol on-off,di PC sudah keringatan. Â Model penyeragamanyang tidak berdasar. Belum lagi ide tiap tahun naik setengah poin,dari empat koma lima jadi lima, dari lima menjadi lima koma lima, dan seterusnya. Namun nilai sebagai 5, 6 yang naik,kualitas sama saja. Artinya tingkat kesulitan soal yang diturunkan, bukan kualitas anak. Ini mengerikan.
Jual Beli Gelar dan "Legalisasi" Kecurangan
Soal jual beli gelar nampaknya agak adem beberapa saat terakhir. Dulu orang berlomba-lomba dengan gear berderet, tanpa mau berpikir kapan mereka itu menyelesaikan kuliahnya. Mana cukup waktu untuk semua itu. Syukurlah hal ini sudah banyak yang bertobat.
Mengenai legalisasi kecurangan, bukan rahasia umum lagi. Kaitan dengan nilai yang terus dituntut naik, mau tidak mau, kecurangan itu menjadi wajar. Berkaitan juga dengan jabatan kepala sekolah ke atas, yang terimbas lagi-lagi, politik. Profesionalismepengelolaan dunia pendidikan digerus oleh orang politik yang maaf, sangat bodoh namun sok tahu.