Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tour de Java: Blusukan ala Pak Beye atau Deparpolisasi

11 Maret 2016   10:05 Diperbarui: 11 Maret 2016   18:17 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tour de Java, Blusukan Ala Pak Beye, atau Deparpolisasi

Presiden keenam ini memang paling unik bin ajaib. Bagaimana tidak, setelah masa jabatannya malah melakukan safari atau blusukan istilah Pak Jokowi, karena penggemar bahasa asing beliau menyatakan nama kelilingnya dengan Tour de Java. Model datang ke masyarakat sejak zaman kuno juga dilakukan, jadi sebenarnya tidak aneh dan lucu.

Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono, biasa jalan-jalan dengan mobilnya dan mengajak rakyat (kawulanya) yang berjalan entunya, tanpa diketahui siapa yang memberi tumpangan itu, dan di sana mendengarkan dengan jelas apa yang dirasakan kawulla-nya.

Raja-raja zaman kuno apalagi di dalam pewayangan juga melakukan penyamaran untuk mengetahui apa yang dirasakan rakyatnya. Mendengarkan suara rakyat dengan apa adanya, datang sebagai orang biasa, dan bagian utuh rakyatnya. Sikap menyamar ini untuk mendapatkkan suara utuh dan apa adanya, bukan dengan rekayasa dan menyenangkan raja atau pemimpinnya.

Berbeda  zaman berbeda pula dengan cara, tentu saat ini susah untuk menyamar, atau melakukan pendekatan model kuno tersebut. Media sosial, korespondensi dengan bentuk baru dan mudah, kedatangan tanpa jarakpun bisa dilakukan. Menarik adalah cara yang dilakukan Pak jokowi yang banyak diikuti yang memakai brand blusukan, datang tanpa jarak, bisa berlaku sebagai masyarakat dan ada di tengah-tengah mereka, sejak awal mulai dari walikota, gubernur, dan kini presiden.

Apa yang presiden maksudkan? Biar tahu apa yang rakyat inginkan, kegelisahan dan perasaan yang hendak dinyatakan. Ketiadaan jarak membuat orang berani dan bebas mengatakan apa yang mereka inginkan. Pejabat memerintah melakukan hal ini baik dan wajar sehingga bisa melakukan perbaikan dan evaluasi dengan cepat. Penanganan yang lebih cepat dan tepat sasaran, sebuah cara mengatasi birokrasi yang masih mbulet dan berkepanjangan tanpa memberikan perubahan signifian. Ini satu cara dari pimpinan dalam mendapatkan masukan.

Pak Beye, mantan pejabat, sebagai presiden keenam, melakukan tour de Java, apa maknanya ini? Melihat kebiasaan selama ini, apa yang terjadi adalah, meminta maaf kalau belum bisa bekerja sebagaimana dikehendaki selama masa jabatan (sudah berulang), ada indikasi menjual derita karena merasa dijadikan kebo hitam selama ini. Menyerap aspirasi, untuk apa coba? He..he...masak selama memimpin tidak melakukan itu kog, ketika sudah tidak lagi menjabat malah menyerap aspirasi, apa tidak salah? Kembali melihat kebiasaan dan apa yang biasanya dilakukan, hasil yang beliau peroleh akan dipakai untuk mengkritisi pemerintah. Sayangnya apa yang dilakukan demi diri, kelompok, dan menyasar pemerintah. Bukan demi rakyat.

Menyerap aspirasi yang sama sekali tidak berguna jika melihat sepak terjangnya baik selaku eksekutif, orang nomor satu lho, demikian juga di legeslatif sebagai pimpinan dewan, dan setgab yang tidak berguna itu. Buru-buru membantah bukan untuk capres mendatang, yang jelas tidak berguna.catatan penting, ialah Pak Peye pelaku utama deparpolisasi, beliau turun gunung sendiri turun ke jalan untuk mencari warta secara langsung. Ingat Pak Jokowi melakukan blusukan karena memang birokrasi ada yang mbulet dan tidak jalan. Sering beliau katakan kerja namun masih saja duduk di tempat.

Deparpolisasi karena parpolah yang bertugas menyerap aspirasi, bukan pimpinan parpol yang harus susah payah cari info. Ketum hanyalah pengambil kebijakan bukan mencari bahan untuk kebijakan. Apakah salah? Tidak hanya kurang tepat. Bahan untuk kebijakan strategis ketika menjadi presiden jelas penting karena banyaknya birokrasi yang masih abs harus dicari jalan khusus dan turun ke bawah, eh malah tidak dilakukan sama sekali.

Post Power Syndrom.

Nyata, ketika bertemu minta maaf kalau belum menyelesaikan persoalan bangsa. Kata lain yang hendak disampaikan ialah, ingat saya juga bekerja lama lho, sepuluh tahun. Mana ada pejabat yang usai menjabat dan menyatakan demikian? Baru kali ini. Pak Beye, prestasi itu akan diingat dan tidak perlu dikatakan. Kedua, catatan minus itu akan dilupakan jika memang dilakukan dengan sungguh-sungguh namun belum usai, namun ketika minta maaf, apakah boleh diterjemahkan bahwa Pak Beye merasa tidak berdaya dan kurang waktu? Mungkin berlebihan dan cukuplah Pak Beye panjenengan tidak usah iri dengan pengganti penjenengan. Ketika rakyat memuja panjenengan karena memang apa yang dilakukan dan puteranya pun bertolak belakang dengan apa yang sudah panjenengan lakukan. Datang tidak banyak membantu bagi pemerintah sekarang, seolah panjenengan malah mengganggu dan hendak mengatakan panjenengan juga masih dicintai. Pak Beye jangan khawatir panjenengan masih diingat (maaf kalau banyak yang mengingatnya yang buruk). Presiden keenam itu negarawan, beri masukan tanpa perlu gaduh, kembali saya tulis, contoh Pak Habibie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun