Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teroris Mati dan Kelanjutan Teror

22 Juli 2016   10:05 Diperbarui: 22 Juli 2016   10:08 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teroris Mati dan Kelanjutan Teror

Pemberitaan media soal kematian teroris Santosa masih sangat hangat. Mengenai siapa dia, asalnya dari mana, bagaimana bisa menjadi gembong cukup besar, bagaimana hidupnya di hutan, dan banyak lainnya. Berbicara mengenai terorisme menarik adalah, media akan melakukan investigasi, mengulik banyak hal, dan tidak ketinggalan mengenai analisis-analisis bagaimana kelajutan dari “organisasi” itu.

Teroris mati, teror baru terbentuk.

Perlu dipahami bersama, namanya teroris itu melahirkan dan menciptakan ketakutan untuk massa. Aneh dan ajaib kalau salah satu tokoh yang cukup besar malah mendramatisir bagaimana nanti lahir generasi baru, penggantinya, atau siapa yang kira-kira akan mengambil alih. Lebih meneror lagi jika, media malah mencari, membesar-besarkan siapa saja tokoh yang berpotensi menjadi pengganti yang mati tersebut. Ingat mereka juga menggunakan media untuk propaganda. Artinya, bahwa mereka sangat tahu siapa saja yang dinilai layak, pantas, dan menjadi pengganti. Ini menimbulkan semangat baru, bagi mereka yang awalnya tidak berani menjadi berani dan menjadi besar. Jika tidak bisa di kelompok yang sama, bisa saja malah menyempal dan menjadi sel baru dengan lebih heboh, dan cenderung ngawur.

Media sosial marak dengan pemaknaan soal kepahlawanan pelaku teror.

Selalu saja “terjemahan” kematian dengan tragis tersebut dengan sosok pahlawan, tersenyum, bahagia, dan sejenisnya. Ingat ini bukan soal agama.Negara melalui BNPT dan pemangku kebijakan perlu bersikap tegas dengan hal-hal demikian. Gambar dengan narasi berlebih-lebihan bisa menarik bagi orang yang tidak sepenuhnya mengerti. Sekilas saja langsung percaya bahwa negara telah berlaku biadab pada pejuang. Padahal tidak demikian.  Hal ini bukan sekali dua kali selalu saja hadir dan belum ada tindak nyata dari pihak-pihak yang berkait. 

Setuju soal perjuangan, jika itu mengatasi kemiskinan, narkoba, maling berbagi bentuk, mereka pahlawan dan itu saya dukung. Namun jika membunuh polisi, orang yang sama sekali tidak bersalah? Perjuangan apa? Berbeda jika mereka menembak maling baik berdasi, berjas, dan berbaju seragam, yang berseragam namun masih maling, dan sama sekali belum terdengar gerakan itu. Atau gembong narkoba yang petentang-petenteng itu ditembak bisa lah dimengerti. Tentu berbeda ketika petani tidak tahu apa-apa dipenggal atas nama penghianatan.

Pembelaan boleh untuk pelaku bukan perilaku.

Beberapa pihak selama ini mendesak densus dan kepolisian untuk berlaku lebih baik dan bahkan ada wacana untuk memberikan pengawas untuk densus. Boleh dan baik jika pelaku yaitu orang tersebut dibela haknya, namun bukan perilakunya yang membunuh dengan tanpa merasa bersalah. Mengatakan negara dengan berbagai-bagaikata buruk namun tetap hidup di sini, serta malah melupakan korban yang jauh lebih banyak. Bagaimana keluarga mereka (keluarga teroris juga korban lho, keluarga korban perilaku biadab mereka, dan banyak lagi). 

Semua diam dan tidak ada komentar mengenai perilaku mereka yang membawa korban begitu besar, termasuk negara yang harus mengeluarkan beaya ekstra demi memperbaiki hidup dan pemikiran mereka. Apalagi jika sudah pernah minta bantuan negara untuk memperbaiki hidup malah dipakai melawan negara. Jika mengulangi lagi apakah masih pantas dibela mati-matian?  Tentu tidak bukan?  Pembelaan boleh dan sah-sah saja asal proporsional dan bukan selalu menyalahkan negara namun diam ketika negara bertindak benar.

Negara tentu telah memiliki pengertian, batasan, dan tindakan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun