Ilustrasi - ancaman hukuman penjara (Shutterstock)
Perjalanan panjang perpolitikan di Indonesia belum berakhir, terutama yang menyangkut Pak Jokowi. Masa menjelang pilpres, utamanya saat kampanye, berbagai berita dan artikel diciptakan dan sebagian besar kurang berdasar. Media terutama media sosial menjadi lahan empuk untuk “propaganda” yang tidak semestinya tersebut. Salah satu media yang berupa cetak bernama Obor Rakyat. Kapolri saat itu demikian lambat atau malah diam, sehingga sekian edisi bisa terbit dan datang ke beberapa tempat.
Media sosial hadir dengan dinamikanya, ada gambar model Pinokio, soal agama capres Jokowi, ras, ataupun mengenai angka kemiskinan di Solo, kota Solo yang selalu banjir, soal capres boneka, dan beragam “kreatifitas” yang tidak semestinya. Puncaknya, editan foto yang tidak pantas dan adanya pembelaan dan pengampunan, lagi-lagi politis. Polisi terutama kapolri kala itu tidak berbuat dengan dalih sedang dalam pengumpulan bukti, atau tidak ada laporan, atau apa lagi yang jelas itu dibuat-buat. Pendapat Pak Jokowi hanya mengatakan, aku rapopo, yang dibalik menjadi ra isa apa-apa, oleh pihak-pihak yang memang tidak mendukung.
Itu setahun lebih berlalu, ketika Pak Jokowi masih calon presiden dan awal sekali sebagai presiden. “wajar” kala itu terjadi karena namanya kampanye di dunia yang masih belajar demokrasi masih “bisa dimaklumi”. Hal senada hadir lagi. Kali ini tentu berbeda, yang dikata-katakan adalah presiden. Suka atau tidak beliau telah menjadi RI-1, memangnya Pak Jokowi hanya menjadi presiden sebagian saja? Tentu tidak bukan? Apakah yang tidak suka kenaikan BBM juga harganya tetap murah? Jelas tidak.
Yang tidak suka dengan adanya kartu pintar, namun anaknya mendapat apakah dikembalikan? DPR terutama Fadli Zon dan Fakhri Hamzah selalu saja mencela dan menilai presiden sebagai buruk, namun menerima juga tunjangan kenaikan yang “disetujui” presiden, dan tidak terdengar mengembalikan dana itu seperti anggota dewan dari Nasdem. Biar saja mereka berdua yang tidak punya kemaluan itu. Janganlah rakyat ikut-ikutan.
Soal kancing jas presiden, soal cara berjalan dan naik pesawat yang berbeda dengan Pak Beye, soal penerimaan oleh Obama, (hal ini soal kebiasaan di sana), malah ada yang mengupas soal”pemadam kebakaran” segala, padahal salah paham. Terakhir mengenai pertemuan dengan salah suku yang menjadi korban asap di Sumatera. Ini bukan soal kritik, namun soal mencela. Ranahnya bukan lagi kritikan namun celaan, ketika hal itu berkaitan dengan subyektifitas.
Sikap Kapolri dulu dan kini.
Pak Tarman dulu diam dan tidak mengambil tindakan yang semestinya. Perilaku buat calon presiden kalau sudah berlebihan tentu perlu juga diambil tindakan. Namun hal itu tidak dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan tentunya sangat masak di tengah keadaan kala itu.
Kini, Surat Edaran Kapolri tentu sangat menohok. Pertama yang akan jadi “korban” naga-naganya, adalah pengunggah soal pertemuan presiden dengan salah satu kelompok rakyatnya. Hal ini, yang beberapa waktu yang lalu hanya sebagai bahan “guyon”-an kali ini bisa menjadi persoalan serius. Pidana bisa menjerat pelakunya. Memang surat edaran mengenai kebencian ini luas bukan hanya untuk penghina presiden namun juga pelaku penebar kebencian agama, ras, dan sejenisnya. Tentu berbeda dengan masa lalu yang fokus pada penghinaan presiden.
Perhatian
Surat edaran yang bagus dan menarik sehingga bisa menjadikan bangsa ini lebih beradab dan beretika di dunia maya sama dengan dunia nyata. Hati-hati dan perlu perhatian sehingga tidak dipakai sebagai penghukum orang hanya karena kebencian sekelompok orang. Kapolri memang mengatakan tidak akan dengan begitu saja ada tuntutan pidana, akan ada mediasi, keterangan ahli, dan penangan lain.