Beberapa sumpah atau nazar yang tidak akan pernah ditepati. Pernyataan yang dilakukan dengan emosional, sangat wajar akan berubah. Lha yang dilakukan dengan sepenuh hati, di dalam nama Tuhan di saksikan saksi, ada Kitab Suci dan petinggi agama saja masih dilanggar apalagi yang dinyatakan karena emosional, beberapa didasari oleh perasaan jengkel.
Ada tujuh sumpah paling tidak, tiga berkaitan dengan Pak Jokowi, dua dengan Pak Ahok, dan dua mengenai korupsi. Hampir semuanya tidak ada yang menjalani, ada yang menyatakan itu sebagai tidak serius, tidak menjawab, atau ada yang marah bahkan ada gamparan ketika diingatkan akan sumpahnya itu.
Pertama, Bapak Amin Rais, seorang tokoh, politik, agama, dan pejabat sekaligus akademisi ini pernah menyatakan akan jalan kaki dari Jogja ke Jakarta jika Jokowi jadi presiden. Saat ada nazar oleh Pak Giman dari Malang, ngampiri beliau untuk bersama-sama jalan, ternyata Pak Amin sudah ke Jakarta, namun naik pesawat terbang untuk menyaksikan puteranya dilantik menjadi anggota dewan. Selama ini belum ada pernyataan apapun mengenai sumpah ini. sebaiknya tidak usah dari pada merepotkan keluarga.
Kedua, Ibu Deby Rhoma, menyatakan akan pindah ke luar negeri kalau Pak Jokowi menang pilpres. Beliau sungguh-sungguh langsung klarifikasi, kalau hal itu tidak sungguh-sungguh, karena ke luar kota saja tidak boleh oleh bapaknya, juga ada anak-anak. Jelas bahwa telah menyatakan apa yang ia lakukan.
Ketiga, Bapak Ahmad Dhani, beliau menyatakan via medsos, akan memutung kemaluannya jika Pak Prabowo kalah pilpres. Beliau menjawab bahwa itu editan sesuai pemesan. Jelas bahwa ada bantahan dari yang bersangkutan. Soal benar salah, biar beliau dan Tuhan yang tahu. Kalau benar kasihan istrinya dan anak-anaknya lah. Berarti sudah usai.
Keempat, Bapak Anas Urbaningrum, menyatakan kalau serupiah saja korupsi uang Hambalang, gantung Anas di Monas. Ketika dinyatakan bersalah, beliau balik mengajak hakim untuk bersumpah kutukan, sebagai jawaban bahwa beliau tidak bersalah. Namun di saat lain beliau bungkam soal itu. Ia beranggapan bahwa memang tidak mengambil uang Hambalang, dengan perumpamaan tidak ada sebiji sesawi Hambalang di dalam kasusnya. Masih ada waktu untuk membuktikan, yang jelas bahwa MA sudah melipatduakan hukumannya. Apakah patut menggantung di Monas? Janganlah, nanti ada Hantu Monas yang akan menambah horor Jakarta yang sudah punya legenda Hantu Jembatan Ancol, tentu tidak perlu menambah miris Jakarta.
Kelima, Bapak Akil Mochtar, menyatakan potong jari saya kalau korupsi. Ketika tertangkap tangan, beliau ditanya wartawan menjadi marah dan melayangkan tangan untuk menggampar penanya. Hukuman seumur hidup dan ditambahi aneka macam tambahan dari MA, telah meyakinkan adanya kejadian itu. Potong jari tidak usah, merepotkan pihak penjara malah, harus mengurus penyembuhannya, biarkan sipir menjaga agar tidak ada narkoba, dari pada jari Pak Akil yang infeksi.
Keenam, Bapak Habiburohman, soal kalau Pak Ahok dapat KTP sejumlah yang diperlukan untuk maju jalur independen beliau akan terjun dari Monas. Ketika jumlahnya sudah lebih dari yang dipersyaratkan, reaksi yang ditunjukkan adalah kemarahan. Janganlah ditagih, kasihan Monas menjadi saksi bisu yang bisa merusak keindahannya. Monumen kebanggaan yang baik malah menjadi ajang kematian tragis, biarlah ditunjukkan dengan kinerja yang baik tentu jauh lebih baik bagi bangsa dan negara. Jika, sekali lagi, jika Pak Ahok menang, bagaimana apakah masih mau menghadiri pelantikan? (ingat jika, jangan sensi ya)
Ketujuh, Bapak Abraham Lunggana, beliau baru saja mengatakan akan memotong kupingnya, jika Pak Ahok berani menggugat BPK ke pengadilan. Hal ini menarik mereka berdua ini seperti Tom n Jerry, selalu saja saling serang, nah, jika (ingat jika lho, jangan sensi), Pak Ahok keluar gilanya dan benar-benar digugat BPK, apa Pak Lunggana mau kehilangan kuping? Pantas hal ini, Pak Ahok tidak perlu menambah “lawan”, biarkan Pak Lulung punya kuping lengkap, kasihan kalau jika (jika lagi lho), Pak Ahok menuntut dan kalah, mau tidak mau masuk penjara, Jakarta punya gubernur tidak punya kuping.
Sumpah yang dinyatakan di awal jabatan saja masih banyak asal bunyi, lihat bagaimana banyak yang mengkhianati Pancasila dan UUD ’45, namun masih pd saja melakukan keinginannya. Atau bersumpah untuk tidak maling, nyatanya hampir tiap saat ada saja yang OTT. Apalagi yang hanya olok-olok. Hanya sumpah untuk ramai-ramai saja.
Apakah perlu ditagih? Sebenarnya bukan soal tagh atau tidak, namun melakukan, kan bukan sebuah tuntutan, dinyatakan sendiri, ya dilakukan bukan untuk diminta. Akhirnya hukum sosial yang akan berlaku.