Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setya Novanto, Kemenangan Politik Jokowi atas Jusuf Kalla?

17 Mei 2016   11:22 Diperbarui: 17 Mei 2016   13:50 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Golkar itu sejatinya sudah masa lalu, politikus yang memimpin berorientasi kepentingan pribadi jauh lebih menguat dan itu terbaca dengan gamblang. Tidak heran ke mana-mana membawa proposal tidak ada yang merespons. Ketum jawara pemilu merana tidak jelas yang akhirnya mendukung adik kandungnya yang suaranya juga lebih kecil. Mengapa masih menjadi perhitungan adalah, karena kekuatan finansial dan politik akal-akalan yang perlu dijinakan dengan akal yang tidak kalah cerdiknya.

Membaca Golkar tidak bisa segamblang Hanura dengan Wiranto, PDI-P dengan Mega, Gerindra dengan Prabowo, dan sebagainya. Golkar yang dibangun atas faksi-faksi tentu bisa timbul konflik kepentingan. Masa-masa pilpres bibit-bibit perpecahan sudah ada. Kubu Ical yang ngotot mendukung adik kecilnya dengan segala cara, lewat medianya bahkan sangat tidak elok dengan berbagai gayanya, hingga kini, bahkan. Ada sebagian kelompok, Luhut, Agung, dan jelas JK yang digandengkan dengan Jokowi.

Kemenangan JK menjadi daya tarik sehingga Agung menyatakan diri dengan gagah perkasa menang atas ketum melalui kongres yang diakui pemerintah, dalam hal ini menteri Yasona. Tarik ulur berkepanjangan, diwarnai salah satu petinggi Ical yang betingkah berlebihan melalui kasus minta saham, minta kursi, minta bantal, dan akhirnya terjungkal di dewan, namun mampu dapat kursi Golkar satu.

JK yang di atas angin telah sering menampilkan diri seperti lebih dari RI-1. Sejak awal sepak terjangnya demikian, tidak lupa pula saat mendampingi SBY. Karakternya memang tidak mudah menjadi orang kedua. Pola yang sama sering tampil kali ini, soal PSSI, soal Golkar, dan banyak kasus menampilkan diri sebagai lebih dari presiden, belum lupa pula saat menyatakan bahwa negara ini rusak kalau dipimpin Jokowi.

Menarik lagi, saat keinginan 100 hari bisa melengserkan Jokowi, dan bisa naik posisi di RI-1. Ternyata Jokowi bukan politisi yang bisa dipandang sebelah mata. Menguatkan diri dengan memanggil Luhut, yang bisa banyak melakukan konsolidasi dan koordinasi. Kegaduhan menteri di masa awal bisa diredam dengan hadirnya Luhut.

Munaslub ini susah dilepaskan dari  kinerja Jokowi lewat Luhut yang hendak memosisikan JK pada tempatnya. Wapres yang real wapres tanpa banyak terlalu mengintervensi melalui gerbong Golkarnya. Pilihan cerdas mengingat model dan kinerja Golkar yang biasa main dua kaki. Berbeda kalau pilihan adalah Agung dan gerbongnya bisa membahayakan sandera politik. Soal menjatuhkan tidak menjadi target lagi, namun demokrasi akal-akalan yang lebih mengemuka, dengan sandera menyandera termasuk ATM dari pada BUMN. Ini jauh lebih berbahaya.

Tidak bisa dipandang sebelah mata, dari sosok kerempeng presiden yang mulai menapakkan kaki kekuasaannya dengan baik. Pemisahan mana kawan mana lawan dengan lebih jelas dan pasti. Parpol yang susah dikondisikan untuk kepentingan berbangsa dan bernegara satu demi satu sudah diatasi. Kritik dan kritis itu harus tapi jelas sesuai dengan fakta yang ada, bukan hanya asal dan bukan hanya karena tidak suka. Parpol yang ada selama ini, bukan soal kinerja namun kepentingan pribadi dan kelompok yang tidak baik tentunya bagi masyarakat dan bangsa.

Kepemimpinan Setnov, meskipun ugal-ugalan, masih lebih aman, karena sudah tersandera oleh kasusnya minta saham lalu. Surat cinta dari kejaksaan tentu membuatnya susah untuk berbuat lebih leluasa jika ketua bukan Setnov.

Golkar yang main dua kaki memang perlu dikendalikan dengan cerdas dan cerdik, sehingga tidak seenak-enaknya sebagaimana dua periode lalu. Mungkin bagi Golkar dan para petingginya mereka untung namun tidak demikian bagi bangsa dan negara tentunya.

Kekurangan tentu ada kelebihan, kelebihan tokoh satunya bisa menutupi kekurangan pejabat lain. Dan mau tidak mau ini yang terbaik bagi negeri ini, agar tertata menjadi lebih baik lagi. Masanya untuk berkembang ke depan bukan sebaliknya yang malah membuat persoalan demi persoalan.

Sinergi lebih dibutuhkan daripada kompetisi dalam hal ini. Persaingan sehat lebih penting bagi keberadaan bangsa ini daripada perseteruan yang tidak ada ujungnya. Penataan pelan-pelan bisa diharapkan untuk negeri lebih baik.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun