Pilkada DKI memang panas dan menyedot animo dari seluruh negeri. Tidak heran ketika ada seorang Kompasianer bertanya rekan lain dari daerah apa punya data soal Jakarta malah menjadi bahan candaan yang menghibur. Jakarta identik dengan Indonesia, karena semua hal ada di sana. Ekonomi, pemerintahan, politik, hiburan, dan bahkan industri, tidak heran urbanisasi juga mengarah ke sana. Persoalan bangsa akhirnya ya ada di Jakarta, macet, hunian liar, dan hal yang menyangkut efek dari magnet Jakarta yang dibuat rezim sekian lamanya.
Salah satu yang masih juga hangat adalah pilihan Pak Beye untuk menarik sang sulunguntuk bertarung di pilkada kali ini. Rekam jejak di militer lebih menjanjikan, demikian ide banyak orang. Apalagi jika dibandingkan dengan si bungsu yang telah malang melintang di dunia politik. Beberapa alasan bisa dilihat sebagai berikut:
Pertama, usia Ibas. Agus saja masih banyak dipermasalahkan mengenai usianya, apalagi adiknya, yang pasti saja jauh lebih muda. Soal usia sebenarnya bukan menjadi persoalan yang mutlak, belum tentu semakin muda semakin lemah bukan?
Kedua, soal kepercayaan, hal ini bisa saja terjadi, bahwa karir Ibas di politik tidak bisa semoncer harapan banyak pihak, terutama trah keluarga dan Demokrat sendiri. Alternatif lain, memaksa kakaknya untuk ambil kemudi dengan memakai momentum DKI-1 ini. Menang atau kalah bukan menjadi prioritas.
Ketiga, nama baik dan jaminan, Agus relatif lebih aman dari pada adiknya. Hanya satu soal laporan kekayaan saja yang menjadi catatan selama ini, toh tidak menjadi ramai juga. Beda dengan Ibas yang bicara Hambalang, langsung saja Ibas kena, Anas, Nazar, selalu saja nyanyi dengan refrein yang sama.
Keempat, klaim Ibas harus diluruskan. Pernah salah posting yang mengatakan ia putra pertama RI, meski sudah dihapus toh masih saja ada yang ingat, ini zaman teknologi, semua terekam. Kalau tidak segera dikembalikan ke jalurnya bisa berabe. Kasus bapak moyang Israel terjadi ketika rebutan hak kesulungan, antara Esau dan Yakub.
Kelima, Ibas ketua bapilu, ketua badan pemenangan pemilu, lha juk apa hubungane? Ini Demokrat harus lebih cerdas dalam berkomentar. Sama sekali tidak berkaitan. Toh Demokrat juga melorot kog, atau mau mengatakan bapilu saja gagal kog apalagi gubernur? Becanda, tenaganya masih dibutuhkan untuk promosi begitu kira-kira.
Keenam, adanya ketakutan meredupnya karir militer Agus. Pak Beye cepat-cepat menghentikan sinar itu ketika masih terang. Tentu tidak mesti benar, tapi bisa juga tidak mesti salah. Jenjang karir di militer tentu Pak Beye sudah sangat paham dan hapal luar kepala, keluarga besar  jenderal ini tentu bisa melihat jauh lebih baik daripada banyak orang tentunya.
Ketujuh, suramnya Demokrat ke depan. Nama saja Demokrat, pola pikir dan kelola sami mawon dengan parpol tradionalis di sini. Lihat saja rekam jejaknya selama ini, gambaran Demokrratnya tidak ada. Momentum untuk membalikkan keadaan dengan mendapatkan DKI-1. Kepemimpinan Agus jelas lebih terbukti dari adiknya. Di militer jelas sekelas pimpinan Agus, kalau Ibas sering labelnya pimpinan atau ketua, sedang hasilnya sama sekali belum terdengar. Jelas lebih memberikan jaminan Agus dari Ibas.
Kedelapan, Pak Beye susah percaya pada orang lain. Ini bisa dilihat dari rekam jejaknya ketika menahkodai Demokrat. Anas itu kecelakaan saja, bagaimana bahasa tubuhnya, wajahnya ketika Anas yang menang waktu itu. Setiap ada masalah oun toh Pak Beye yang mengambil alih, ingat ini bukan bicara PDI-P, nanti komentnya gak usah napa PDI-P boleh, beda dong sejarah, masa, dan ideologisnya.
Kesembilan, Ibas sudah ada di legeslatif, kakaknya baik di eksekutif, coba suatu hari kakak-adik kolaborasi menjadi presiden dan ketua umum parpol dan sekaligus adiknya menjadi ketua dewan, apa pemerintahan tidak akan lancar semulus jalan tol, tanpa tikungan, tanjalan, apalagi lobang yang menghambat lajunya.