Sekolah Berasrama dan Kekerasan, Prihatin atas Pembunuhan di SMA Taruna Nusantara
Dunia pendidikan yang hendak memperingati lahirnya hampir sebulan lagi dikagetkan dengan peristiwa pembunuhan anak sekolah terhadap rekannya, di asrama lagi. Berita yang memperpanjang dunia pendidikan yang diwarnai dengan kekerasan demi kekerasan, dosen dibunuh mahasiswanya, murid ditendang gurunya, guru dikeroyok muridnya, orang tua melapor polisi karena tidak terima karena anaknya dihukum, dan masih banyak lagi.
Biasa, sama dengan sekolah lain.
Kisah di SMA TN ini sebenarnya hal yang sangat biasa, wajar, tidak beda dengan pembunuhan dan penganiayaan di sekolah lain, bahkan sekolah dasar sekalipun. Bukan berarti bahwa hal ini juga dinilai lumrah dan biasa saja, dalam arti tidak perlu perhatian, bukan demikian. Justru menjadi tanya besar ketika seleksi dan test psikologi, mengapa anak berpotensi kekerasan hingga pembunuhan seperti ini bisa lolos. Tanya besar juga untuk sekolah lain dan termasuk yang lebih senior seperti Akabri, STPD, dan sejenisnya. Mengapa sekarang menular ke yuniornya? Ke mana hasil test psikologi itu? Meskipun test psikologi bukan satu-satunya dan yang utama, tapi bisa membantu melihat potensi itu.
Usia Remaja dan Dewasa Akhir, Pencarian Jati Diri
Usia di mana pencarian jati diri sedang mekar-mekarnya. Sangat bisa mengerti karena pernah mengalami hidup di asrama, meskipun bertolakbelakang, namun bisa mengerti dengan baik, bahkan paham bagaimana dinamika di sana terjadi. Pencarian jati diri yang sebenarnya sangat terbantu dengan pendampingan dari profesional yang ada di sekolah sekaliber TN, namun “produk gagal” tetap saja terjadi, namanya manusia, tidak bisa diprediksi dengan begitu saja. Bisa saja teori mengatakan A namun faktanya B, manusia yang bisa juga mengelabui test ini itu, atau memang sikap yang berbeda. Pencarian jati diri yang bisa membuat frustasi.
Persaingan yang Tidak Dibarengi Pendampingan yang Sepadan.
Berkaitan dengan pencarian jati diri, persaingan usia muda, tentu bisa menjadi sangat sengit, tetapi tidak dibarengi dengan instrumen yang memadai. Saya yakin CCTV mewarnai dunia modern di sana, pengawasan yang sangat ketat, saya baca ada pemeriksaan belajaan segala. Berbeda asrama tempat saya, sama sekali tidak ada CCTV dan pemeriksaan berlebihan belanjaan ini, bahkan pisau ada di mana-mana dengan biasa saja, tidak ada persoalan. Kemarahan atas kegagalan, bully,dan tetek bengek lainnya hanyalah efek atas persaingan yang bisa saja tidak seimbang.
Iri dan dengki atas berbagai hal
Susah dikatakan atas ini dan itu, namun bahwa anak asrama bisa menjadi iri dengki dan sebagainya, hanya karena soal sepele. Strata sosial yang tidak disadari bisa menjadi potensi kekerasan. Iri atau pengin atas fasilitas mewah dari siswa lain, prestasi atau nilai siswa lain bisa menjadi pemicu yang sangat potensial besar pengaruhnya. Belum lagi jika ada perlakuan yang berbeda dari staf atau pihak lain yang sangat dirasakan dan meresahkan. Sangat manusiawi.
Kedisiplinan Tidak Identik dengan Kekerasan