SBY, Prabowo, HTI dan Pertanggungjawaban Moral atas Pilihan Diam
Menarik rivalitas 2019 makin kencang terasa. Manuver partai politik di dalam isu-isu strategis sudah dimulai. Soal hak angket KPK, soal UU Pemilu, UU Ormas, dan terbaru kurang terdengar soal ide pemindahan ibukota negara. Partai politik bergerak zig zag sesuai keuntungan dan kepentingan masing-masing. Bangsa dan negara nanti dulu....
Pertemuan mantan dua bintang tiga jauh memberi aroma sengitnya pilpres nanti, dengan rekam jejak dua peristiwa prnting 2014 dan 2017, pilpres dan pikada DKI. Semua masih samar, namun peta sudah mulai terbentuk. Kesamaan strategi jangka pendek yang mereka anut bisa menjembatani keduanya yang dulu rival utama justru kini bergandengan tangan.
SBY dan Diam
Seorang rekan menyatakan, mengapa model-model ini merasa menjadi penyelamat negara. Seolah negara sedang genting dan mereka turun untuk menjadi juru selamat yang dinanti-nantikan. Benarkah demikian? Kiprah Presiden SBY banyak yang sudah paham dengan falsafah diam itu emas dan satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit (belum lagi jika kena redenominasi) jauh lebih kekurangan Pak Beye. Diam yang paling fatak pada diamnya radikalis dan HTI. Sejak 2009, NU dan Muhamadiyah dua ormas terbesar dan tertua di bangsa ini sudah berteriak kencang karena mereka terkena infiltrasi parah yang tujuan akhirnya adalah Indonesia, diam saja.
Berapa saja coba yang sudah mereka hasilkan dengan sepuluh tahun pembiaran, bahkan seolah terfasilitasi. Beberapa daerah dengan perda yang bagi NU dan Muhamdiyah saja sudah kelewatan. Sekolah-sekolah mengajarkan upacara dan hormat bendera sebagai hal yang salah. Pemaksaan kehendak dalam banyak hal, dan malah mendapatkan angin segar. Sekolah khusus mereka banyak berdiri, bagaimana tidak akan terkoyak jika sepuluh tahun mempersiapkan diri dengan penuh kenyamanan, kondisi yang kondusif, dan masuk ke dalam inti pemerintahan di jajaran kabinet dan birokrasi. Jangan salah dan jangan lupa beinh itu sudah merimbun kini. Memangkasnya sangat merepotkan, mereka bisa menghantam balik karena pohon itu sudah sangat besar dan kuat.
Prabowo dan Diamnya
Mungkin masih bisa lebih diyakini nasionalismenya seorang Prabowo. Namun dikelilingi oleh mereka yang keras, radikalis, dan penuh intrik yang banyak pula dipahami bersama, dia diam saja. Seolah menikmati kemenangan dengan cara itu. Bagaimana sikapnya menghadapi kelompok-kelompok yang berseberangan secara ideologispun dia diam saja. Tidak bereaksi atau menjaga jarak. Bisa saja dia tidak masuk dalam jajaran radikalis dan antipancasila, namun apakah bisa diyakini kedalaman hatinya? Â Dapat pula bahwa saling menanti untuk memamfaatkan, apakah cukup mampu juga untuk mendepak? Apa tidak sebaliknya akan terdepak sendiri?
Siapa Memanfaatkan Siapa
Apa yang tersaji kedua pihak, nasionalis meragukan dalam diri militer purna ini dan kelompok antipancasila di sisi lain sama-sama mencari keuntungan dari sebelah menyebelah. Potensi siapa mendepak siapa sebenarnya sangat kuat dan jelas. Dua mantan jenderal ini yang dengan mudah didepak. Mereka sekuat apapun, sebesar apapun akan terpental karena kekuatan mereka jelas kalah jauh dengan pembangunan ala infiltrasi sepuluhan tahun terakhir. Akhirnya mereka naik di tampuk kekuasaan.
Kekerasan demi Kekerasan Paska itu