Wacana menaikan cukai rokok sehingga harga rokok bisa menjadi kisaran Rp.50.000,00. Idenya selain ada pemasukan dari sektor pajak, selain itu menahan laju perokok karena mahalnya harga rokok.
Kisah perokok.
Pertama, di kala kuliah berasrama, uang saku pada tahun awal 2000-an, sebulan Rp.25.000,00. Uang saku itu untuk beli sabun, photo copy, dan jajanlah. Bagi perokok, biasanya kreatif dengan tingwe, ngglinting dhewe.Beli tembakau di pasar jauh lebih murah dan tentu uang saku cukup untuk sekedar ngebul. Jangan tanya, uthis, tegesan,pun dibuka dan kembali digulung jika tanggal tua atau photo copian banyak. Soal harga bisa diatasi, muncul kreativitas dan petani tembakau sebenarnya tidak terkena imbasnya secara langsung sebagaimana industri rokok.
Kedua, teman yang sudah berkeluarga, memiliki anak kecil. “Pak minta uang jajan,” spontan jawabnya, “Gak ada!” sambil menyalakan rokok. Rokok habis jadi ingat, lho buat jajan anak tidak ada kog malah tak bakar, berhenti merokok karena lebih memilih anak. Kesadaran menjadi lebih penting.
Masalah harga bukan menjadi pokok penting ketika masih banyak cara dan kreativitas dilakukan. Bagaimana negara dan masyarakat itu mendua. Lihat bagaimana sekarang rokok seperti menjadi bahan bulan-bulanan dan manjadi tertuduh sebagai penyebab ini itu, iklan dibatasi, dan aneka betuk pembatasan, namun di sisi lain, sponsor utama bagi kegiatan olah raga, menjadi sponsor utama liga-liga yang siaran langsung di media Indonesia. Suka atu tidak, toh emas olimpiade juga hasil kerja keras perusahaan rokok, yang lain belum memberikan kontribusi yang setara.
Sikap mendua ini membuat serba repotm belum lagi jika alasan untuk mendongkrak pajak, nyatanya pajak yang ada belum sepenuhnya bisa dipakai untuk bangsa dan negara. Kebocoran dan maling-maling berdasi masih leluasa nggarong,ini perlu dibenahi dan dijadikan cambuk untuk menegakkan aturan dan hukum. Sudah lebih dari cukup kalau tidak bocor...cor..cor....Lebih baik jadikan koruptor sebagai musuh bersama lebih dahulu daripada rokok.
Jika mau membina agar anak-anak tidak merokok, tegakkan aturan di sekolah, dan tidak boleh abai di rumah. Bagaimana bapak atau kakak biasa saja menyuruh anak membeli rokok. Hal ini sepertinya sepele namun bukan tidak mungkin hal ini menjadi kebiasaan, biasa mebeli dan bisa coba-coba merokok. Apalagi beberapa tempat merokok itu bagian utuh budaya dan cuaca. Sekolah menegakkan disiplin soal siswa merokok. Sekarang ini banyak sekali anak merokok di depan sekolah biasa saja, jauh era 90-an mana berani anak siswa berseragam merokok di depan sekolah? Peran penting pihak sekolah dan juga keluarga.
Kesadaran hidup sehat.
Sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagaimana ilmu pasti, bahwa merokok pasti sakit dan yang tidak merokok tidak. Kisah demikian banyak berseliweran di sekitar kita. Artinya bahwa soal sehat ini mengenai pilihan. Memilih untuk merokok atau tidak. Keluarga semua merokok dan termasuk kelas berat bisa satu hingga dua pak per hari, saya sama sekali tidak merokok, satu hisap saja tidak pernah. Menciptakan ini sangat penting, memiliki sikap batin.
Bagaimana mengatakan hidup sehat tanpa merokok ketika orang-orang yang berkecimpung di dalam kesehatan baik dokter, perawat, dan sebagainya juga merokok, berarti apa? Kurang tahu apa coba mereka, kan tahu secara pengetahuan, ilmiah lagi, nyatanya masih juga merokok.
Contoh, sekarang sudah jarang guru merokok di lingkungan sekolah, dulu, guru di kelas pun merokok dan biasa saja, tidak membuat anak tertarik dan mengikuti. Keteladanan dan sikap tegas. Anak yang diberi kesadaran tidak akan mencontoh apalagi jika uang saku bisa dipakai untuk yang lain. Hal ini berkaitan dengan penggunaan uang yang lebih bijaksana. Di sini peran orang dewasa untuk memberikan pemahaman.