Baru saja ada kejadian dari orang masa lalu yang hendak eksis kembali, pentolan Federasi Pentung ini kembali bikin “ulah” demikian saya menyebutnya. Dalam sebuah acara, kalau dakwah mosok membuat resah, lebih bijak saya katakan acara saja, menyebut sampurasun dengan campur racun. Tentu bahwa sebagian pihak, masyarakat Sunda menjadi tersinggung, Kang Ridwan K pun turun rembug menyarankan untuk minta maaf dan persoalan selesai. Anjuran bijak di mana tidak perlu memperpanjang masalah dengan hal yang sejatinya tidak perlu terjadi kalau mengatakan hal-hal yang sensitif bukan sebagai bahan cari tawa.
Pelajaran berharga untuk semua pihak.
Hampir setahun Federasi Pentung sudah tiarap dan baru kali ini ada sedikit kesempatan unjuk diri. Mereka telah kolaps karena dana dari APBN terhenti dengan kebijakan pemerintahan yang baru. Sangat kerasa bagi mereka, tidak lagi bisa melakukan sweeping dan unjuk rasa yang berujung kekerasan sebagaimana beberapa waktu lalu yang seperti tak tersentuh. Memang rumor mengatakan bahwa kelompok ini peliharaan seorang pengggede negeri. Dan naga-naganya ada kebenarannya. Bagaimana mereka bisa melakukan apa saja, bahkan bisa membuat gubernur tandingan segala dan sekarang sama sekali tidak memiliki aksi sedikitpun. Pilpres menjadi ajang terakhir mereka. Dan kali ini hendak menggunakan propaganda murah untuk mendapatkan panggung. Bantahan atas tuntan itu, kembali mereka merasa tidak bersalah dan malah kembali mengatakan pendengarnya yang salah mendengarkan. Kebiasaan selama ini sama sekali tidak tahu bahwa salah dan merasa bersalah dengan kedok agama dan pakaian untuk membenarkan perilaku buruk sendiri. Selalu mengatakan anti barat namun dengan tidak merasa bersalah menggunakan media produk barat dengan berbagai dalih bodoh yang menunjukkan mereka memilih standar ganda, ketika menguntungkan boleh kalau tidak mendapatkan apa-apa musuh.
Bagi Kepolisian, jangan sampai menjadi membesar dan malah kembali mendapatkan panggung gratis, usut tuntas, apalagi telah ada SE yang mmenjadi payung hukum. Tidak lagi saatnya kelompok yang mengatasnamakan agama dan pakaian yang sejatinya menistakan agama mendapatkan perlindungan. Ketika membuat candaan berkaitan dengan SARA memang tidak menjadi msalah bagi negara yang telah dewasa, namun perlu perhatian bahwa kita masih demikian adanya, perlu ditindaklanjuti dengan baik. Tindak lanjut tidak mesti hukum dan persidangan bertele-tele, namun bisa pula mediasi dan adanya ungkapan sesal mendalam. Kelompok tidak bisa memaksakan kehendak bahwa mereka selalu benar dan minta dipahami terus menerus.
Bagi ormas dan kelompok yang tersinggung, baik bahwa membawa ini ke ranah hukum dan mengharapkan penegak hukum bertindak dengan bijaksana bukan seperti masa lalu yang selalu ujungnya diam seperti tidak berdaya. Hanya saja selanjutnya dengan “mengancam” kalau tidak berbuat apa-apa akan turun ke jalan. Hal ini justru menguntungkan gerombolan yang sedang mencari eksistensi yang telah terpancung itu. Panggung diperoleh dan bisa dimanfaatkan kelompok yang hendak mencari keuntungan sendiri. Lebih baik ide untuk melarang orang ini datang ke Sunda lagi seperti kehendak ormas yang ada. Penerimaan dan dukungan itu kehendak mereka agar kembali eksis. Tidak ada yang mau menerima, mendengar, dan mengundang tentu mereka akan redup dan tidak lagi bisa memperoleh panggung untuk kembali menekan-nekan kelompok lain.
Pemerintah daerah dan Kemenag, memegang peran penting untuk memberikan pendidikan dan pembinaan agar sumbu pendek dan mudah tersinggung itu lebih panjang. Kita bisa belajar banyak dari almarhum Gus Dur yang bisa becanda dengan tema-tema sensitif sebagai hal yang wajar. Sejatinya tidak mengurangi makna apapun itu, justru yang memperolok soal SARA justru kanak-kanak dan perlu belajar banyak. Tentu sepakat bahwa tidak sepantasnya becanda dengan apa yang menjadi bentuk “kebanggaan dan hal yang dihormati” pihak lain. Becanda saru dan jorok serta agama memang paling mudah, namun paling juga tidak bermutu.
Pelajaran berharga bagi kita semua agar lebih bijak dalam bersikap, berkata-kata, dan menyatakan sesuatu termasuk lelucon. Meras diri selalu benar dan pihak lain sebagai yang salah juga mulai diminimalisir. Hidup bersama itu mudah sejatinya ketika mau mengukur ke dalam diri sendiri apa yang dikatakan atau dilakukan itu menyingung atau tidak. Kalau aku tidak suka ya jangan melakukannya pada orang lain.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H